Oleh: Chusnatul Jannah (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Penerimaan peserta didik baru dengan sistem zonasi masih menimbulkan pro dan kontra. Permendikbud nomor 17 tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menyebutkan kuota bagi siswa berdasarkan zonasi wilayah sebesar 90 persen dari seluruh jumlah peserta didik.
Itu artinya sistem penerimaan peserta didik baru tidak lagi ditentukan oleh prestasi namun jarak rumah. Hal ini pun menimbulkan reaksi para orang tua yang ingin mendaftarkan anaknya di sekolah yang dikehendaki.
Pasalnya, terpolarisasinya lembaga sekolah favorit dan tidak favorit sudah lama berjalan di tengah masyarakat. Jika si anak pintar pasti orangtuanya menginginkan ia sekolah di sekolah favorit bukan sekolah biasa.
Sistem zonasi ini dinilai cukup baik untuk mengatasi persoalan ketimpangan kualitas pendidikan. Mendikbud, Muhajir Effendy, mengungkapkan adanya sistem zonasi memang ditujukan untuk menghilangkan pemikiran masyarakat tentang sekolah favorit dan non favorit. Dengan pemberlakukan sistem zonasi diharapkan terwujud pemerataan pendidikan. Tak ada lagi sekolah khusus anak-anak pintar dan sekolah rendahan.
Sepintas hal ini cukup baik diterapkan agar favoritisme yang sudah lama menggejala di tengah masyarakat perlahan hilang dengan adanya aturan ini. Tak dipungkiri masih banyak sekolah-sekolah ‘pinggiran’ yang dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat karena sekolah tersebut dihuni oleh siswa siswi ‘buangan’ dari sekolah favorit.
Namun, nampaknya mendikbud juga kurang jeli bahwa persoalan favoritisme sekolah berawal dari kesalahan paradigma \dan sistem pendidikan yang dijalankan. Sistem zonasi dianggap sebagai jawaban namun masih menyisakan persoalan baru.
Pertama, standar penilaian cerdas tidaknya siswa adalah nilai yang dihasilkan secara kognitif. Nilai UN dan rapor masih menjadi acuan dalam menentukan layak tidaknya siswa masuk sekolah favorit. Kita lupa bahwa persoalan generasi tak sekedar pintar tidaknya ia dalam meraih nilai tertinggi, namun lebih pada persoalan karakter dan moral yang dihasilkan. Output pendidikan berupa kepribadian dan karakter inilah yang seringkali diabaikan.
Kedua, Infrastruktur sekolah yang belum merata. Pendidikan seolah sudah menjadi komoditas dalam meraup untung. Tak heran bila banyak sekolah dengan fasilitas dan infrastruktur yang memadai, biaya pendidikannya jauh lebih mahal. Seharusnya hal ini menjadi tugas negara dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang merata di semua sekolah, bukan yayasan atau dibebankan kepada orang tua siswa.
Ketiga, SDM yang bermutu dan profesional. Kehadiran guru yang profesional cukup memberikan pengaruh pada kualitas sekolah di masyarakat. Jumlah SDM bermutu dan profesional justru lebih banyak bernaung pada sekolah-sekolah yang difavoritkan. Nampaknya hal ini juga tidak menjadi perhatian negara dalam melakukan pelayanan pendidikan secara maksimal.
Keempat, di alam kapitalisme standar mutu pendidikan selalu diukur dengan materi. Sibuk mengejar prestasi berupa materi, lupa dengan persoalan kualitas generasi. Itulah yang terjadi. Tak heran bila banyak yang beranggapan jika menginginkan anak pintar carikan sekolah yang bagus fasilitasnya, mumpuni SDM gurunya, dan harus siap biaya mahalnya. Untuk anak-anak yang bernasib malang, cukup sekolah di pinggiran dan tak perlu keluar uang.
Minusnya peran negara inilah yang menyebabkan kualitas pendidikan semakin turun. Sistem pendidikan ala kapitalisme telah mengikis karakter generasi masa depan. Negara seharusnya hadir memberi jaminan dan pelayanan pendidikan. Sehingga setiap anak bisa mendapatkan hak pendidikan yang memadai. Dengan begitu sistem zonasi tak akan menjadi persoalan berarti. Hal itu hanyalah bagian teknis pengaturan penerimaan siswa baru.
Selama persoalan dasar dalam dunia pendidikan ini tak diuraikan, problem pendidikan akan terus terjadi. Oleh karena itu harus ada sistem alternatif yang mampu menjawab persoalan dari akar hingga cabang.
Sebab, persoalan pendidikan bukan sekedar masalah teknis -administratif, namun lebih kepada persoalan sistemis - ideologis. Disinilah islam mampu menjawab tantangan persoalan pendidikan. Dalam Islam, pendidikan adalah hak dasar yang wajib diberikan negara kepada rayatnya tanpa terkecuali.
Dengan sistem pendidikan Islam persoalan sistemis hingga teknis lebih mudah teruraikan. Bukti penerapannya selama 13 abad lamanya mampu membentuk generasi cemerlang yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan cerdas tanpa mengurangi ketinggian moral mereka. [syahid/voa-islam.com]