Oleh: Nurma Alwahidah Widiastuti
(Inspiring Muslimah Community Sumatera Utara)
Kasus korupsi kembali mengundang perhatian publik, karena pada kasus ini terduga korupsi masuk ke dalam jajaran kandidat pemilihan kepala daerah. Hal ini diamini oleh menteri Menteri Dalam Negeri. Mendagri, Tjahjo Kumolo menyebut, tetap akan melantik tersangka kasus korupsi jika dinyatakan menang dalam kontestasi Pilkada 2018.
Kata Tjahjo, berdasarkan Undang-undang (UU) yang berlaku menyatakan bahwa seorang yang belum memiliki hukum tetap, maka masih dapat dinyatakan turut dalam proses pelaksanaan Pilkada. Hal itu sebagai wujud azas praduga tak bersalah (29/6).
Hal ini bahkan bukan kasus pertama yang dihadapi kandidat di tahun 2018 ini, meskipun akan diberhentikan pada saat sudah memiliki status hukum yang jelas sebagai tersangka. Sudah sekian deretan nama dari beberapa daerah pernah mengalami kejadian ini.
Akankah kita memang tidak memiliki banyak kandidat yang proporsional sebagai pemimpin atau ada sisi masalah lain yang akhirnya banyak menyeret para kandidat pemimpin daerah ke jurang korupsi yang akhirnya menuntaskan karir perpolitikannya dalam waktu sekejap untuk merajut hari di bui, sebagai ganti ongkos yang mahal akan keterlibatannya.
Ongkos politik untuk kampanye kiranya memang tidak murah. Bahkan pernah secara terang-terangan petinggi salah satu partai menyatakan open donasi sebesar-besarnya yang diperuntukkan kepada orang-orang yang dianggap proporsional sebagai pemimpin. Ongkos politik yang mahal ini, akhirnya menjerat kandidat pemimpin ke bui, meski sedang mengikuti kontes politik.
Hal ini lah yang akhirnya menjadi peluang masalah besar bagi kandidat lain untuk kemudian menapaki kontestasi pemilihan pemimpin daerah. Dalam sitem kapitalis saat ini wajar adanya bila segala sesuatu berurusan dengan biaya/ uang yang besar. karena cenderung kita mendengar uang yang mengatur urusan. Bahkan untuk buang air sekalipun kita butuh uang.
Apapun keperluan akhirnya menjadi rumit. Masyarakat sekarang kemudian cenderung berorientasi pada mengumpulkan pundi-pundinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang hampir di setiap hal mengeluarkan uang.
Dan kemudian masyarakat seakan dibuat buta dengan keadaan karena memilih kandidat yang terjerat kasus. Keadaan yang mengkhawatirkan, karena rakyat hanya sebatas memilih calon yang sudah tersedia, namun belum mampu mencerminkan kepribadian yang bisa dicontoh rakyat dengan kondisi yang membawanya ke dalam jeratan korupsi. Bila awal nya saja sudah tersandung kasus, bagaimana bisa mampu memimpin rakyat dengan benar.
Dari sini kita bisa melihat seakan-akan kita miskin akan orang yang punya kapasitas menjadi pemimpin rakyat, apakah benar seperti ini. Banyak orang pintar dan punya potensi untuk memimpin rakyat, lantas apa yang membuat ini terjadi. Lalu apakah pernah ada contoh yang bisa gunakan sebagai solusi bagi masalah ini.
Biaya yang mahal dalam pemilihan sepertinya dapat diminimalisir dengan pemilihan yang pernah diterapkan pada masa daulah khilafah, saat sistem yang menerapkan syariat islam dijadikan aturan. Pemilihan yang dilakukan hanya sebatas memilih khalifah (pemimpin negara) saja, selebihnya khalifah punya kewenangan untuk memilih sendiri wakil daerahnya. dengan pemilihan tanpa mengedepankan hawa nafsu ataupun kepentingan golongan, tapi mengedepankan kepentingan rakyat.
Dengan pemilihan seperti ini tampaknya kepala daerah tidak akan risau untuk memikirkan biaya kampanye yang begitu besar dalam kontestasi pemilihan, dan dapat meminimalisir kasus korupsi yang belakangan bisa saja mendera kontestan pemilihan kepala daerah.
Ini lah kiranya solusi yang dapat dicoba ulang untuk digunakan sebagai pengaturan dalam tata kelola pemerintahan yang pernah di terapkan oleh daulah khilafah islamiyah. [syahid/voa-islam.com]