Oleh: Salsabila Maghfoor
(Aktivis Mahasiswa, Koordinator Pena Langit)
Pendidikan selalu menjumpai titik persoalannya manakala masanya memasuki waktu penerimaan peserta didik baru. Setiap tahun, persoalannya selalu saja pada kuota penerimaan, yang masih saja diwarnai kecurangan dan manipulasi data saat penerimaan. Untuk kebijakan PPDB sendiri, tahun ini pemerintah sudah menerapkan konsep penerimaan berdasar zonasi wilayah.
Namun nyatanya ini juga belum sepenuhnya mensolusikan keadaan. Problem baru yang kemudian timbul adalah soal tidak meratanya sebaran siswa dan posisi sekolah yang diinginkan seringkali tidak sesuai dengan zona tempat tinggal siswa.
Pada akhirnya, penerimaan menjadi tidak optimal. Begitupun dari pihak sekolah akhirnya mengeluhkan, siswa didik yang diterima belum mampu dipetakan kemampuan akademiknya karena tidak melalui seleksi nilai sebagaimana sebelumnya.
Disamping itu, mahalnya bangku pendidikan hari ini membuat orang tua manapun menjadi bingung tak tertahankan. Inginnya memilih sekolah bergengsi, namun bayaran yang memberatkan akhkirnya membuat urung keputusan orangtua.
Belum lagi dengan kebijakan terbaru dengan adanya zonasi, bila kemudian tidak kebagian di sekolah negeri, maka dengan berat hati akhirnya orangtua mesti menempatkan anak di sekolah swasta yang tentu saja bayarannya berkali lipat lebih mahal.
Demikian secara singkat potret pendidikan kita saat ini. Kita belum bicara soal bagaimana kondisi pendidikan di wilayah yang terpencil, bagaimana kegiatan belajar mengajar yang ada, bagaimana kondisi fisik sekolah yang ada, dan sebagainya.
Atau secara umum, bagaimana perkembangan moral anak didik kita saat ini, apakah sudah membaik prestasinya, apakah sudah membaik bersama gaung jargón revolusi mental yang digaungkan, dan masih banyak lagi.
Harga Mahal Kemashlahatan Pendidikan
Kita semua tentu tahu, bahwa pendidikan adalah aspek mendasar yang mesti disadari sebagai tonggak generasi. Bila ia mengalami banyak persoalan atau bahkan pergeseran pemaknaan menjadi tidak se-sakral dahulu, maka sudah pasti kefokusan akan output dan keluaran yang dihasilkan pun tidak akan se-spesial dahulu.
Jangan heran bila kemudian, ada anak didik yang berani menentang gurunya sendiri. Atau bahkan, ada yang berani menghina dan mempermainkan aktivitas pengajaran yang dilakukan.
Ini semua adalah harga mahal yang harus dibayar dari sistem pendidikan yang ada saat ini. Bukannya mengarah pada kemashlahatan, malah kemudharatan. Sayangnya, kapitalisasi pendidikan model ini sudah banyak disadari bahayanya namun belum tuntas pensolusiannya.
Oleh karena itu, kita mesti berbenah, sebab pendidikan adalah hal paling krusial yang mesti ditempatkan porsinya secara lebih serius lagi. Ada banyak kemashlahatan generasi masa depan yang secara sia-sia ditelantarkan tanpa kejelasan visi pendidikan yang lebih baik nantinya. [syahid/voa-islam.com]