Oleh: Rismayanti Nurjannah
"Sistemnya sangat merugikan. Rumah hanya berjarak kurang dari 600 meter, tidak diterima juga. Mau ambil SMA yang lebih jauh, skor jaraknya pasti berkurang. Dan kalaupun sekolah jauh, ujung-ujungnya siswa yang repot dan ongkos menjadi lebih mahal," kata Rini sebagaimana yang dirilis tirto.id (10/07/18). "Ngapain belajar. Mending pindah rumah dekat sekolah yang diinginkan. Teman-teman saya yang pintar, NEM di atas 300, kalah sama yang NEM-nya 130, rumah dekat [sekolah yang dipilih]," keluh netizan di akun Instagram Kemendikbud, Muhadjir Effendy.
Polemik sistem pendidikan di negeri ini rasanya tak kunjung usai. Solusi yang ditawarkan pun belum menjadi solusi yang solutif. Bersifat tambal sulam, masalah tak tertangani dengan tepat. Sistem zonasi PPDB misalnya. Seolah menjadi solusi, nyatanya kerap kali ditemukan berbagai permasalahan di lapangan.
Misalnya, masalah yang berkaitan dengan kewajiban menerima 90% calon siswa yang tinggal di lokasi dekat sekolah. Hal ini membuat sekolah kelebihan peminat karena berada di kawasan yang padat penduduk. Berbeda dengan sekolah yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga. Sepi peminat hingga kekurangan peserta didik. Sebagaimana yang terjadi di 12 SMP di Solo, Jawa Tengah atau di 53 SMP di Jember, Jawa Timur.
Sekolah Unggulan Vs Sekolah Biasa
Tidak dimungkiri, kebijakan yang digalakan Pemerintah baik adanya. Yakni, menghilangkan kastanisasi sekolah favorit dan tidak favorit. Hanya saja kita pun tidak bisa menampik bahwasanya adanya kastanisasi ini tak lepas dari peran Pemerintah. Di satu sisi, sekolah favorit memiliki kelengkapan sarana prasarana, sistem belajar mengajar yang mumpuni. Di sisi lain, sekolah yang katanya tidak favorit menyediakan fasilitas seadanya. Keterbatasan biaya, itulah sebabnya. Dengan anggaran yang minim dari pemerintah, tidak banyak yang mampu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Benar, ada harga ada kualitas. Guna mewujudkan sekolah “favorit”, tak sedikit harga yang harus dibayar. Namun, bukan berarti mahalnya biaya pendidikan diserahkan kepada masyarakat. Seyogyanya, ini menjadi tanggung jawab Pemerintah seutuhnya. Semua anak punya hak yang sama mendapatkan pendidikan yang layak. Tentunya dengan fasilitas yang mumpuni dan harga yang murah.
Kastanisasi pendidikan setidaknya menjadi bukti nyata bahwasanya pendidikan saat ini telah dikomersialisasi. Tidak ada batasan bagi individu atau kelompok untuk mendirikan lembaga pendidikan. Hal ini jelas berpengaruh pada orientasi pendidikan. Bukan lagi mencerdaskan anak bangsa, melainkan ajang bisnis semata.
Sejumlah regulasi pendidikan kian mempertajam bahwa arah pendidikan Indonesia menuju liberalisasi yang berujung pada kapitalisasi sektor pendidikan. Sejumlah regulasi ini seperti Undang-Undang (UU) No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau yang berkaitan dengan pendidikan tinggi yakni UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Permenristek No 39/2017 tentang Uang Kuliah Tunggal dan Biaya Kuliah Tunggal, Surat Edaran Dikti No 26/2002 tentang larangan aktivitas politik di lingkungan kampus, dan serangkaian regulasi lainnya.
Kewajiban Pemerintah
Menyediakan layanan pendidikan berkualitas nan murah bahkan gratis bukan hal yang musykil. Mengingat kekayaan SDA negeri ini amat melimpah ruah. SDA yang hakikatnya milik rakyat seharusnya dikelola dengan baik dan hasilnya didistribusikan untuk kesejahteraan rakyat. Bukan disodorkan kepada Asing, tanpa mampu kita nikmati sedikit pun. Jika saja SDA ini dikelola dengan benar. Bukan tidak mungkin seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati pendidikan yang gratis.
Islam memandang pendidikan merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi negara. Berbeda secara diametral dengan Kapitalis. Kapitalis memandang bahwasanya pendidikan berkualitas masih menjadi “barang mewah” yang hanya bisa dikecap oleh mereka yang beruang. Ada harga ada barang, begitulah pandangan Kapitalis.
Pendidikan dalam Islam memang memiliki tempat yang istimewa. Karena dengan pendidikanlah, taraf berpikir manusia meningkat. “Mencari Ilmu adalah kewajiban setiap muslim” (Al-hadis). Ini adalah standar yang jelas. Setiap muslim wajib mencari ilmu. Karenanya guna merealisasikan perintah tersebut sebagai bukti ketaatan kepada Allah Swt., negara pun harus menopangnya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
*Penulis adalah anggota Revowriter Tangsel
Ilustrasi: Google