Oleh: Salma Banin (Anggota Komunitas Penulis Revowriter)
Bulan Juli merupakan momen sibuk bagi orang tua mempersiapkan tahun ajaran baru bagi putra-putrinya. Ada yang berbeda dari dua tahun terakhir ini, sistem zonasi dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sedikit banyak memberi cerita bagi mereka.
Ada sejumlah kekhawatiran dari wali murid yang tidak kebagian kursi untuk anaknya, juga dari pihak sekolah menengah pertama yang terancam kekurangan siswa karna jumlah lulusan SD di daerah tersebut lebih rendah dari kuota yang sudah disiapkan.
Berbagai dampak sudah pula diberitakan secara massal. Kecurangan yang masih terjadi, biaya yang tak lagi terjangkau, aksi geruduk dan segel sekolah, penyanderaan kepala dinas hingga tragedi bunuh diri siswa.
Begitulah citra dunia pendidikan yang nampak didepan mata. Belum lagi jika ditelisik ke aspek diluar teknis, semisal output karakter hasil didik juga yang tak jauh mengkhawatirkan. Fenomena aplikasi pembuat video yang viral bisa menjadi salahsatu indikasinya.
Di mana remaja putri yang masih labil keranjingan satu sosok laki-laki sebaya yang berwajah lucu dan imut serta senang bergaya dengan lipsync lagu-lagu ternama. Acara meet and greet penggemar digelar, ramai dari mereka berdatangan, sebagiannya mengaku menghadiri dengan perjuangan.
Sungguh sebuah kesia-siaan, dikala pelajar lebih sibuk kehidupan media sosialnya dibanding belajar sungguh-sungguh demi masa depannya. Pergi kemana hasil pendidikan guru dan orangtua?
Tidak pula bisa dihilangkan dari benak bahwa siswa-siswi Indonesia masih terlibat dalam jeratan berbagai kasus kriminal, tawuran, pemerkosaan, perundungan (bully), adiksi pornografi bahkan pornoaksi, pelacuran, perdagangan manusia, narkotika, geng motor, mabuk oplosan, dan lain sebagainya.
Bukan hal yang tidak mungkin bahwa tahun 2020 mendatang yang digadang akan terjadi bonus demografi di Indonesia malah berakhir pada bencana demografi. Kita bisa bayangkan bersama apa yang bisa dihasilkan dari generasi yang lebih senang happy-happy dibanding memikirkan masalah dan solusi.
Output seperti ini tidak lepas dari paradigma dan sistem pendidikan yang diajarkan disekolah-sekolah. Dekatnya kurikulum kita dengan nilai-nilai sekuler menjadikan pembentukan syakhsiyah (kepribadian) Islam pada anak didik jauh dari harapan. Anak-remaja Indonesia tak lagi mengenal Tuhannya dan tak peduli pada peran strategis dirinya bagi kemajuan negeri tempat ia bernaung.
Pemahaman tanggung jawab sebagai muslim bertaqwa tak lagi diberikan secara intensif karna khawatir disebut radikal. Sebaliknya paham liberal yang direbakkan di seluruh jenjang pendidikan mengakibatkan putra-putri bangsa kita tak lagi mau taat aturan. Bahkan sopan santun pada guru pun perlahan sulit ditunjukkan.
Padahal adab dalam Islam lebih patut dipelajari sebelum ilmu. Tak terlihat lagi hubungan kasih sayang pendidikan ketika “menjewer” saja menyebabkan guru harus mendekam dalam kurungan. Sampai kapan akan kita diamkan?
Ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk. Sejalan dengan pendidikan yang dicapai, akan semakin merendahkan hati anak didik dihadapan Penciptanya.
Menyebabkan ia tunduk pada syariah yang melekat pada dirinya, menjadikan Ia satu-satunya yang diharap keridhoannya. Itulah sebenar-benar output pendidikan yang didambakan sepanjang zaman. Dan hanya pernah terjadi dimasa Kekhilafahan, tepatnya masa Khilafah Abbasiyah. Dimana ilmuwan bertebaran, yang mereka juga faqih (ahli) dalam ilmu keakhiratan.
Di dunia mereka mampu berkontribusi positif bagi masyarakat, pun di akhirat mendapat kemuliaan karna ketaqwaan. Ketika sendiri ia menjadi hamba yang berserah, sedang ketika bersama umat ia memberi manfaat berlimpah.
Sebutlah salah satu dari mereka adalah Al Khawarizmi, sang matematikawan pioneer angka 0 (nol) yang menjadi basis teknologi komputasi modern. Kitab Al-Jabru wal Muqabbala (diterjemahkan ke dalam bahasa latin menjadi Algebra) yang fenomenal menghiasi buku-buku ajar matematika dasar di seluruh dunia. Sungguh prestasi yang dinantikan regenerasinya.
Umat muslim memiliki sejarah gemilang di bidang pendidikan dengan output yang mengagumkan. Tercatat dengan tinta emas peradaban. Kini tak lagi bisa dijumpai di negeri muslim manapun, hanya segolongan kecil umat saja yang mampu berprestasi sedang mayoritasnya masih dalam kubangan kemiskinan dan penindasan.
Kita butuh perisai yang akan melindungi dari jeratan penghambaan diri pada uang dan kekuasaan, beralih ke kehidupan yang lebih menyejahterakan dalam ketaatan yang kaaffah (menyeluruh di segala aspek, baik sistem maupun sub-sistem) di bawah naungan Khilafah Rasyidah ala Minhaj an Nubuwwah.
Hanya sistem ini yang mampu menghadirkan keridhoan Allah karena berstandar hanya pada syariah-Nya. [syahid/voa-islam.com]