View Full Version
Rabu, 01 Aug 2018

Merindu Ulama, Warisatul Anbiya

Oleh: Fatimah Azzahra, S.Pd

Ulama dari masa ke masa memiliki peranan penting dalam keberadaan suatu bangsa. Menyadari hal yang demikian, para ulama internasional mengadakan mutalaqo’.

Mutalaqo’ atau Pertemuan Dai dan Ulama Internasional ke-5 diselenggarakan di Hotel Grand Cempaka, Jakarta pada 3-6 Juli 2018. Dihadiri Ulama dan dai dari 20 negara.

 

Tak Sekedar Rekomendasi para Dai

Dari pertemuan ini, dihasilkan 10 rekomendasi, diantaranya. Pertama adalah menekankan pentingnya rahmat dalam Islam dan hidup berdampingan secara damai dan harmoni antara Muslim dan non-Muslim.

Kedua, untuk mencapai persatuan dan kesatuan di antara umat. Perlu berpegang kepada Alquran dan Sunnah.

Ketiga, pentingnya membangun kemitraan kerja sama antara lembaga-lembaga dakwah dengan berbagai lembaga-lembaga ilmiah dan pendidikan baik pemerintah atau swasta.

Keempat, meningkatkan peran strategis lembaga-lembaga dakwah dan kontribusinya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Muslim di berbagai bidang dan disiplin ilmu dalam rangka mewujudkan misi “khairu ummah” dan “ummatan wasatha”.

Kelima, memperkuat posisi keluarga sebagai institusi terkecil dan fondasi dasar bangsa dan negara, melalui pendidikan dan pengembangan karakter yang mulia yang sejalan dengan ajaran Islam yang hanif (islampos.com, 7/7/2018).

Disematkan gelar ulama, yang artinya pada pundak merekalah kewajiban meneruskan aktivitas nabi. Menyebarkan Islam. Memperjuangkan agama Allah di seluruh muka bumi. Karena itu, Islam rahmatan lil alamin yang hadir membersamai. Islam hadir untuk semua manusia di muka bumi, bukan nusantara semata. Dakwah memang bukan hanya tugas para ulama. Tapi, ulama sejatinya menjadi pemimpin dan terdepan dalam aktivitas ini.  

Melihat 5 dari 10 rekomendasi yang lahir dari rahim mutalaqo’ kemarin. Semua poinnya sungguh mulia. Tak cukup diberikan gemuruh tepuk tangan semata. Tapi, juga disokong agar terwujud secara nyata. Bukan indah dalam angan belaka.

Contohnya poin kedua yang menekankan pada persatuan dan kesatuan umat dengan berpegang pada Alquran dan sunnah. Bagaimana caranya agar kita bersatu dalam naungan Islam saja? Tentu tali aqidah yang jadi jawabannya. Ya, keimanan pada Allah.

 

Role Mode Iman pada Ilahi

Ulama, sebagai tokoh umat, harus terlebih dulu menjadi role mode. Menunjukkan bahwa ulama mampu berdiri tegar diterpa badai. Baik itu badai yang berupa harta ratusan juta. Atau tahta dan wanita. Iman dan takwanya menghujam dalam diri. Bersemayam rasa takut pada ilahi Rabbi. Takut siksa api neraka yang panasnya tiada tara.

Hanya saja, kerusakan telah merajalela. Merasuk dari sendi negara hingga ke institusi keluarga. Semuanya hancur lebur. Korupsi, kolusi, nepotisme sudah menjadi hal biasa. Selingkuh, lari dari tanggung jawab, hingga membunuh pun jadi santapan berita sehari-hari. Innalillahi. Dipertanyakan kemana iman dalam diri?

Berat tugas ulama menanti. Membenahi iman umat masa kini. Yang sudah terlanjur jauh dari agama. Janganlah menunggu semakin hancur generasi ini. Ulama dan umat harus bangkit. Memupuk iman dan takwa sedikit demi sedikit. Membangkitkan umat dengan pemikiran Islam. Hingga cinta tertanam dalam setiap insan. Mencintai agama Islam, dengan bukti beramal dan berjuang demi terwujudnya islam kaffah, islam rahmatan lil a’lamin.   

 

Bangkitkan Umat dari Tidur

Sejarah mencatat kegemilangan Islam kala diterapkan. Kesepuluh rekomendasi pun nampaknya terlaksana dengan baik saat itu. Salah satunya, sejarah mencatat kerukunan antar umat beragama hadir di Palestina. Tempat yang menaungi 3 agama samawi. Islam, Yahudi, dan Nasrani. Bahkan ketika Pasukan Salib menyerang, penduduk Nasrani sukarela ikut berjuang bersama kaum muslim. Ikut mempertahankan keberadaannya dalam naungan Islam.

Sayangnya, kini umat kehilangan ruh perjuangan dan kerinduan akan masa kejayaan. Karena sejarah hanya sebatas dipelajari sebagaimana sejarah perkembangan manusia atau biografi pahlawan asing. Sejarah kegemilangan hanya sebatas legenda yang pernah ada.

Disinilah peran penting ulama dalam mengembalikan ruh perjuangan dan kerinduan akan masa kejayaan. Sebagaimana yang dilakukan Syeikh Ahmad bin Ismail Al Qurani dan Syeikh Aaq Syamsuddin yang menjadi guru Muhammad Al Fatih. Tergambar jelas kemuliaan yang didapat olehnya kalau ia berhasil menaklukan Konstantinopel.

Bisyarah (kabar gembira) dari Rasul terus menerus dikumandangkan di telinga Muhammad Al Fatih. Hingga ia pun yakin, bahwa dirinyalah yang Rasulullah saw sebutkan pada hadist tersebut.

“Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukannya adalah sebaik-baik pemimpin. Dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan” (HR. Ahmad).

Kini, umat merindu sosok seperti Syeikh Ahmad bin Ismail Al Qurani dan Syeikh Aaq Syamsuddin yang menanamkan keimanan, menyemai takwa, dan membakar ruh perjuangan dalam diri umat muslim. Cukup lama umat tertidur. Tak menyadari potensi besar yang ikut terkubur.

Bangkitkan ummat dengan imanmu wahai ulama. Sadarkan ummat dengan ilmu wahai penyeru kebenaran. Ajarkan islam kaffah, islam yang melingkupi semua sendi kehidupan.

Agar ummat sadar, Islamlah solusi semua permasalahan kehidupan. Baik pada institusi negara atau keluarga. Jangan ragu atau bimbang, walau kesulitan menghadang. Islam pasti dijaga oleh Rabb Pemilik Alam Semesta.

Tinggal kini peran kita, akankah ikut berkontribusi di dalamnya? Atau merugi dengan peran penonton saja. Wallahua’lam bish shawab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version