View Full Version
Rabu, 01 Aug 2018

Menakar Untung Rugi Akuisisi Freeport

Oleh: Oktavia Nurul Hikmah, S.E.

Akhirnya Freeport kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Inilah kalimat yang disampaikan oleh Direktur Utama PT Inalum, Budi Gunadi Sadikin dalam ucapan terimakasihnya kepada seluruh pihak yang telah membantu Inalum mengembalikan Freeport Indonesia ke pangkuan ibu Pertiwi. Dia mengatakan, hal ini merupakan amanah Presiden Joko Widodo.

Sebagaimana diketahui, PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum (Persero) telah melakukan penandatanganan pokok-pokok perjanjian atau Head of Agreement dengan Freeport McMoRan Inc. Penandatanganan tersebut salah satunya menetapkan Indonesia sebagai pemilik 51 persen saham perusahaan tersebut.

Inilah gambaran kekuatan media dalam menciptakan citra. Deretan kalimat positif semacam mengembalikan Freeport ke pangkuan ibu pertiwi dan Indonesia sebagai pemilik 51 persen saham Freeport, akan memesona siapapun yang membaca. Tak penting lagi meneliti makna dari Head of Agreement ataupun fakta bahwa Freeport akan habis masa kontraknya pada tahun 2021.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, mengakui transaksi aksi korporasi sistem head of agreement (HoA) dalam pembelian Freeport bukan merupakan kesepakatan mengikat.

Jonan mengatakan, HoA dibuat hanya untuk menyamakan persepsi terkait transaksi. Sebagai sebuah kesepakatan yang tidak mengikat, terlalu terburu-buru mengatakan penandatanganan HoA ini sebagai kemenangan bagi Indonesia. Apalagi divestasi 51 persen saham tersebut mengandung konsekuensi perpanjangan kontrak hingga tahun 2041.

Dan perlu diingat pula bahwa divestasi saham tidak gratis, Indonesia harus membayar sejumlah dana senilai saham untuk memperoleh 51 persen saham tersebut. Bukankah lebih masuk akal untuk menunggu hingga habis masa kontrak pada 2021 dan kemudian mengembalikan pengelolaannya pada negara.

Belum lagi berbagai persyaratan yang diajukan oleh Freeport disinyalir akan menimbulkan kerugian bagi negara. Maka tak heran ada yang menyatakan klaim akuisisi Freeport ini tak lebih dari publisitas gratis menjelang pemilihan presiden.

Kalangan pengamat pun menyatakan, pokok persoalannya adalah keberadaan Freeport itu sendiri. Sejak berdirinya pada 1966 dan menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet pada tahun 1980, Freeport menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun.Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A.Maley, menulis s

ebuah buku berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar di dunia.

Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia. Hal ini dimungkinkan terjadi karena mineral yang ada di pertambangan Grasberg terserak di permukaan tanah. Areal pertambangan yang awalnya berupa gunung, kini telah menjadi lembah yang sangat dalam dan meyisakan limbah beracun bagi penduduk asli.

Deposit tambang Grasberg masih berpotensi untuk dieksplorasi hingga 40 tahun ke depan. Oleh karena itu, wajar jika Freeport mempertahankan pertambangan itu mati-matian. Sesungguhnya kontrak Freeport akan habis pada 2021, dan baru diizinkan untuk melakukan perpanjangan paling cepat dua tahun sebelum masa kontrak habis, yaitu pada 2019.

Namun, derasnya tuntutan publik untuk menghentikan kontrak menjadikan Freeport berupaya untuk mengajukan negosiasi tersebut lebih awal. Akankah pemerintah sejalan dengan kehendak rakyat? Atau justru melanggengkan penjajahan dengan memuluskan perpanjangan kontrak.

   
Pengelolaan Sumber Daya dalam Islam

Islam  adalah konsep kehidupan paripurna yang diturunkan Allah untuk manusia. Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah, Islam pun memiliki pengaturan dalam kehidupan individu, bermasyarakat maupun bernegara. Terkait dengan pengelolaan Sumber Daya, Islam pun memiliki pengaturan yang khas. Rasulullah SAW bersabda,


« اَلْمُسْلِمُوْنَشُرَكَاءُفِيثَلاَثٍفِيالْكَلإَِوَالْمَاءِوَالنَّارِ»

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api.“

Tambang mineral merupakan sumber energi, atau di dalam hadits dinyatakan sebagai api. Sumber energi masuk dalam kategori kepemilikan umum. Artinya, sumber daya ini wajib dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Haram memberikan hak pengelolaan kepada individu atau swasta.

Hal ini sesungguhnya sejalan dengan pasal 33 yang menyatakan hal yang sama, bahwa ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Namun, jangankan tunduk pada syariat, undang-undang pun tidak diindahkan.

Sistem demokrasi menjadikan kedaulatan di tangan manusia. Negara pun diatur dengan undang-undang yang bersumber dari akal manusia. Tak heran, terdapat banyak sekali kelemahan dan celah dari sistem kehidupan seperti ini karena akal manusia pun terbatas. Undang-undang yang dibuat pada akhirnya hanya akan menguntungkan segelintir pihak dan menyengsarakan yang lainnya. Ini merupakan keniscayaan dalam sistem demokrasi.

Sementara pengaturan yang diberikan Allah, tak lain untuk kemaslahatan manusia secara keseluruhan. Pengaturan Allah tidak memihak, pasti mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Ketika manusia mengabaikan aturan Allah, maka kerusakan pun nampak di daratan dan lautan.

Kerusakan alam, kesejahteraan umat yang tak kunjung terwujud, serta kedaulatan negara yang tergadai habis oleh korporasi adalah tanda-tanda ketidakberkahan negeri ini. 

Saatnya kembali pada aturan Allah. Saatnya memperjuangkan syariat Islam secara kaaffah untuk mewujudkan hidup berkah dunia akhirat. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version