Oleh: Nisa Rahmi Fadhilah (Mahasiswi UIN Bandung)
Pada zaman Rasulullah SAW masjid merupakan pusat pengembangan masyarakat dimana masjid selain dikenal sebagai tempat untuk beribadah, pada masa itu dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, bersilaturahmi dengan sesama muslim, mendamaikan orang orang yang berselisih, hingga disebutkan bahwa masjid digunakan sebagai tempat latihan berperang.
Menurut pemberitaan hasil survei Rumah Kebangsaan dan Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dari 100 masjid sebanyak 41 masjid terindikasi radikal.
Indikatornya dilihat dari tema khotbah Jumat yang disampaikan seperti ujaran kebencian, sikap negatif terhadap agama lain, sikap positif terhadap khilafah, dan sikap negatif terhadap pemimpin perempuan dan nonmuslim (liputan6.com).
Bahkan anak-anak pun menganggap masjid adalah suatu tempat yang kurang menyenangkan sehingga jika dibiarkan tidak akan ada lagi generasi yang memakmurkan masjid.
Sebagaimana yang dikatakan Muhammad Al-Fatih "Jika kalian tidak lagi mendengar riang tawa dan gelak bahagia anak-anak di masjid-masjid. Waspadalah. Saat itu kalian dalam bahaya”.
Ini hal yang wajar terjadi karena pemahaman masyarakat saat ini adalah paham sekularisme yaitu memisahkan agama dari kehidupan, masjid hanya dianggap sebagai tempat untuk ibadah ritual saja seperti sholat dan berdoa.
Maka dari itu, mari kita ganti mindset masyarakat dari masjid yang dianggap radikal menjadi masjid yang dirindukan umat agar berfungsi sebagaimana zaman Rasulullah SAW dengan mengembalikan aturan islam dalam kehidupan sehari-hari yang diterapkan oleh seorang khalifah.Wallahualam bi shawwab. [syahid/voa-islam.com]