Oleh :Nurina Purnama Sari S.ST
Cahaya temaram, sempitnya ruangan, lembabnya udara dan padatnya penghuni berjejal, itulah gambaran penjara yang terbersit dalam benak kita pada umumnya. Nyatanya, tak seperti itu adanya. Di dalam penjara pun berlaku hukum “ada harga ada rupa”.
Ketika uang bertahta dalam genggaman, siapapun bisa silau karenanya, termasuk aparatur negara. Narapidana yang berharta, mampu membeli pelayanan penjara layaknya raja. Pelayanan kelas hotel bintang lima segera menanti masa-masa pesakitan menjadi seorang narapidana.
Oh ya, segera saya harus meralatnya. Tak patut kita menyematkan kata "pesakitan" kepada para napi istimewa tersebut. Tanpa perlu mengundi nasib, dengan mudah mereka bergembira di dalam sepotong wilayah yang bernama lapas penjara.
Setahun yang lalu, Cipinang punya cerita, tentang seorang napi gembong narkotika yang dengan leluasa menjalankan bisnis narkotikanya di balik jeruji bui. Di dalam ruangan ber-AC nya yang sama sekali tak pantas di sebut penjara,karena ada perangkat elektronik segala rupa, pun akuarium ikan arwana. Rupanya cerita yang sama namun beda rupa ditemukan di Lapas Sukamiskin baru-baru ini. Bahkan, dengan leluasa para napi terpidana korupsi membangun saung-saung mewah tempat bersantai ria.
Sakit. Potret masyarakat sakit rupanya terdokumentasikan di dalam lembaga yang seharusnya lurus dan meluruskan. Sayangnya, kedua pihak yang seharusnya meluruskan dan diluruskan sama-sama pesakitan. Sakit dalam artian sesungguhnya.
Bedanya hanya di seragam, itu saja. Ini bukan masalah tunjuk hidung pada oknum, tapi sudah menjadi bagian kebijakan terstruktur. Rakyat tentu tak mudah lupa dengan nama Gayus Tambunan, narapidana yang namanya beken karena kepergok berpelesiran. Nah, itu baru yang mencuat ke permukaan. Yang tak ketahuan tentu bisa lebih banyak, bukan?
Beginilah ketika hukum sekuler diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Penyalahgunaan kekuasaan merajalela. Tumbuh suburnya mafia hukum di setiap celah aparatur pelaksananya adalah salah satu efek domino yang akan dirasakan rakyat negeri ini. Keadilan hukum menjadi relatif tergantung siapa yang berduit.
Sistem sekuler menjadikan penerapan hukum beserta sanksinya lemah sehingga tidak akan pernah membawa efek jera bagi pelakunya. Dan akar dari itu semua, ada faktor ideologis, yaitu tumbuhnya nilai-nilai kebebasan dan hedonisme di masyarakat sehingga melahirkan individu-individu yang lemah karakternya dan tak benar attitude-nya.
Aparatur pelaksana hukum perlu berkaca pada masa kekhilafahan Umar Bin Khattab. Khalifah Umar memberlakukan seperangkat hukuman pidana yang keras. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan para aparatur negaranya, termasuk aparatur pelaksana hukum itu sendiri.
Catatan sejarah menunjukkan, hukuman tegas pada masa Khilafah terhadap pelaku penyelewangan wewenang, termasuk penerima suap, tak segan-segan dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan bisa sampai hukuman mati. Pemberlakuan hukuman ini berfungsi sebagai pencegah, sehingga diharapkan memberi efek jera dan membuat orang lain takut untuk mengerjakan kejahatan yang sama.
Filosofi dibalik kokohnya tembok penjara dan jeruji besi tak lagi mampu “meluruskan”, karena tembok sudah jebol dan jeruji besi tak lagi lurus. Rasanya hanya penerapan hukum Islam saja yang bisa meluruskan semua penyimpangan hukum yang diakibatkan oleh penerapan sistem sekuler.
Dengan catatan, penerapan hukum yang dilakukan tidak setengah-setengah, harus total. Karena aturan dari Allah tidak bisa dibeli dengan materi.Tak ada tawar menawar lagi. Berbeda dengan penerapan hukum buatan manusia yang bisa di manipulasi. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Nurina Purnama Sari S.ST