View Full Version
Sabtu, 11 Aug 2018

Kebangkitan Hakiki Di Mata Ummat

Oleh: Khairunnisa Fajriyanti (Aktivis Remaja Muslimah)

Apa yang Anda pikirkan ketika sudah memasuki tanggal 20 Mei? Ya, ada salah satu momen penting nan bersejarah bagi semesta rakyat Indonesia: Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), yang bertujuan mengenang perjuangan dari suatu gerakan segelintir pemuda mahasiswa STOVIA yang ingin ‘bangkit’ dari keterpurukan pemerintahan kolonial di Indonesia, yakni Boedi Oetomo.

Didirikan pada 20 Mei 1908, membuat tanggal tersebut dijadikan patokan dimulainya revolusi nasional, agar bumi pertiwi tidak tercengkram lama oleh tangan-tangan imperialisme.

Secara teoritis, adanya perayaan Harkitnas ini akan menjadikan pendorong bagi kemajuan seluruh elemen bangsa Indonesia, agar cita-cita bangsa dapat tercapai sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tahun ini, 110 tahun sudah kebangkitan nasional, apakah kita sudah benar-benar bangkit?

Apa yang kita lihat, dijalani, maupun diyakini dalam fakta kehidupan berbangsa dan bernengara sudah cukup membuat Indonesia tampil bangkit di mata dunia? Ataukah hanya mimpi di siang bolong, makna dari momen tahunan ini?

Mari kita telisik arti dari elemen penyusun kalimat “Kebangkitan Nasional” menurut KBBI.

1. “Bangkit” (diambi beberapa arti yang mendukung) :

bangkit/bang·kit/ v 1 bangun (dari tidur, duduk) lalu berdiri: ia -- dari duduknya; ia -- berdiri sambil mempersilakan tamunya duduk; 2 bangun (hidup) kembali: -- dari kubur; 3 timbul atau terbit (tentang marah): -- amarahnya mendengar ejekan itu

2. “Kebangkitan”:

kebangkitan/ke·bang·kit·an/ n 1 kebangunan (menjadi sadar): - Indonesia hanyalah satu bagian dari - umum di Asia; 2 perihal bangkit dari mati: Hari - Isa Almasih;- nasional perihal bangkitnya seluruh rakyat Indonesia sebagai satu kesatuan bangsa melawan dan mengusir penjajah melalui berbagai cara. 

3. “Nasional”:

nasional/na-si-o-nal/ a bersifat kebangsaan, berkenaan atau berasal dari suatu bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa: cita-cita-; perusahaan-; tarian-

Sedangkan Wikipedia berpendapat bahwa, Kebangkitan Nasional adalah masa di mana Bangkitnya Rasa dan Semangat Persatuan, Kesatuan, dan Nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan Negaranya. Dari pengertiannya saja dapat kita simpulkan bahwa yang bangkit hanyalah semangat serta perasaan. Dimanakah peran akal untuk bangkit? Padahal sejatinya ada kontribusi akal pemikiran di dalam mengendalikan semangat dan perasaan tersebut, agar tidak salah dalam meluapkan keduanya.

Negara-negara di dunia, saling berlomba mengadakan pembangunan infrastruktur, penggalian teknologi, perkembangan SDA dan SDM. Namun, apakah semua itu menjamin negara-negara tersebut bisa bangkit? Apakah semua manusia yang tinggal di dalamnya sudah sepenuhnya sadar akan perlunya kebangkitan dalam hidupnya? Tengoklah Indonesia. Dengan segala kekayaan yang dipunyai, terlihat sangat menjanjikan rakyatnya lebih maju pesat menyaingi belahan dunia lain.

Tapi apa? Dengan pemerintahan yang bertindak semaunya; menjadikan uang sebagai tradisi mempermudah segala urusan; tak mempedulikan halal-haram yang penting perut kenyang hati senang; apatis dalam segala hal; demokrasi yang hanya memakan janji dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat namun tanpa realisasi; sekularisme kapitalis yang berhasil mencengkeram dan menggerogoti ideologi anak bangsa, sehingga yang diharapkan menjadi penerus kehidupan negara malah menjadi bibit perusaknya.

Fakta seperti itukah yang kita bilang Indonesia sudah bangkit? Masih ingin terus bersantai ria melihat kondisi ummat seperti itu? Apa yang harus kita perbuat? Kebangkitan seperti apa yang membangun ummat?

Kebangkitan ummat menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Hadayats ash-Shiyam mendefinisikan kebangkitan sebagai “irtifa’ul fikri” alias peningkatan taraf berpikir. Dari pengertian tersebut, bukan berarti ummat harus meraih pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau bahkan berlomba-lomba mendirikan banyak institusi pendidikan agar tercipta generasi yang pintar dan cerdas, melainkan adanya perubahan keadaan dari rendah (terpuruk) menjadi tinggi (berjaya).

Contohnya dalam menanggapi persoalan maupun kebijakan pemerintah yang terus mencekik rakyat, jika ummat tak menyadari bahkan bisa tak mau tau atau hanya berpasrah dengan keadaan, akan berpikir “ah udah lah yang penting hidup saya tercukupi walau pas-pasan”, atau seperti ini, “ya gimana caranya mau ngerubah peraturan kalo ujung-ujungnya pejabat yang berkuasa, demo-demo juga ga didengar, mending terima aja deh daripada nambah beban hidup”.

Kalau pola pikir masyarakat sudah seperti ini, berbahaya. Kebangkitan akan dirinya saja sudah terbenam, bagaimana dengan negerinya?

Sebagai agama mayoritas di Indonesia, Islam merupakan agama yang haq; pengatur segala macam aspek kehidupan manusia berdasarkan wahyu Allah yang tertuang dalam nash Al-Quran dan sunnah Rasulullah saw.

Islam juga sebagai ideologi, yang menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, yang akan mengatur segala pola pikir kita dalam menjalani hari-hari dalam hidupnya. Tak hanya berbicara aturan ibadah ritual saja (shalat, puasa, pergi Haji, dsb.), namun ada kontribusi terhadap bidang-bidang lain seperti halnya ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hukum dan pemerintahan, dll.

Maka sewajarnya sebagai seorang Muslim sadar akan agamanya sebagai ideologi yang memuaskan akal serta menenteramkan hati, tak perlu takut maupun risau dengan penilaian segelintir manusia, yang selama ini menuduh paham Islam kaffah sebagai ‘radikalis’, ‘kolot’, ‘intoleran’.

Yakinlah bahwa pemikiran Islami sebagai suatu tonggak dalam kebangkitan ummat yang hakiki di mata Allah swt. Wallaahua’lam bi showab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version