View Full Version
Ahad, 12 Aug 2018

Merdeka, Hakiki atau Sebatas Hegemoni?

Oleh: Aiza Islami*

 

Merdeka! Aroma kentalnya perayaan hari kemerdekaan sudah mulai terasa di berbagai daerah. Berbagai atribut merah putih menghiasi setiap sudut jalan dan gang-gang dengan meriah. Suka cita menyambut harlah, lupa ada masalah, pertanyaan retoris, benarkah merdeka? Ah sudahlah…..

Tak ingin mempertanyakan lagi makna kemerdekaan, namun hanya ingin menguji kesadaran dan kepekaan. Kurang lebih sepekan sebelum hari kemerdekaan, Presiden Jokowi menyambut kunjungan Menteri Luar Negeri AS di Istana Merdeka. Kunjungan ini disinyalisasi sebagai upaya awal komitmen peningkatan kerjasama ekonomi. Disamping pula membahas isu perdamaian Palestina.

Manis diksi, kacau paradigma. Dapat dipastikan, aktivitas demikian hanyalah dianggap aktivitas kenegaraan yang normal dalam percaturan politik ekonomi dunia. Nyatanya? Gagal paham dengan pemahaman gagal. Kerap berpikiran positif. Inilah watak masyarakat yang rupanya harus “disyukuri” pemerintah Indonesia. Tak jarang ditemui pernyataan “pemerintah tau yang terbaik untuk rakyatnya” atau “percayalah pada pemimpin, mereka lebih berilmu dibandingkan kita”.

Sebuah kunjungan kenegaraan seorang pejabat negara ke negara lain tak bisa hanya dianggap sebuah silaturahim “apa kabar?”. Pertemuan kedua penguasa menjadi sebuah momentum bertemunya pula rancangan-rancangan strategis demi menguatkan pondasi kenegaraan masing-masing. Masih manis? Jelas saja. Impian terciptanya Indonesia yang maju menjadikan jabatan tangan seolah ikatan terbaik mengangkat derajat negara.

Racun berbalut cokelat. Nikmat diawal, binasa setelahnya. Tak bisa dipungkiri. kunjungan dan kerjasama adalah model basi kerjasama berkedok hegemoni. Tak dikata dalam bahasa galak, namun terdeskripsi dalam diksi "Indonesia adalah mitra strategis yang hebat bagi AS”. Kemitraan yang menjadikan imperialisme kapitalisme tetap tertancap.

Kerjasama perdagangan yang diharapkan terwujud dengan memanfaatkan kekosongan perdagangan AS hanyalah ilusi basi. Masuknya produk Indonesia dalam pasar AS nyatanya dihadang dengan kebijakan tarif bea cukai yang tinggi. Memangnya sanggup membayar? Lagi lagi ilusi. Lagi lagi hegemoni.

Terakselerasinya program demokratisasi dan Islam moderat di Indonesia juga merupakan boomerang yang tak disadari mengancam Indonesia. Rasa bangga memuncak tatkala disinggung atas kehebatan Indonesia sebagai negara penjunjung demokrasi dan toleransi. Nyatanya lagi? Demokrasi adalah taring yang digunakan untuk terus menggigit. Demokrasi menjadikan kedaulatan hukum tetap ditangan manusia. Bukan manusia-manusia yang saat ini yang sibuk mempersiapkan perayaan kemerdekaan di kampung-kampung dan kota-kota. Namun manusia yang memaksa kepentingan lewat kebijakan ala kapitalisme.

Demokrasi pula yang menjadikan manusia-manusia yang berpikiran positif ini senantiasa toleran dengan kehadiran penjajah serta terhipnotis dalam adu domba internal kaum muslim. Mempropaganda perpecahan timur tengah adalah akibat radikalisme golongan, hingga menjadikan sabar dan syukur dalam kondisi Indonesia yang dirasa.

Diperlukan kesadaran untuk berhenti “gagal paham dengan pemahaman gagal” yaitu bangkit dengan “benar-benar paham dengan pemahaman benar.”. Islam telah menunjukkan pemahaman benar pengelolaan negara sesuai dengan syariat Allah SWT. Bahwa tidak ada yang lebih memahami manusia selain Allah.

Tidak ada yang berhak mengatur kehidupan selain dengan caranya Allah SWT. Tugas manusia hanya menjalankan dengan ilmu, yakni memahami hakikat kelemahan manusia, hingga tak sungkan benar-benar memahami syariat Islam secara keseluruhan dan menerapkannya dalam bingkai negara. Wallahu a’lam bis shawab. (rf/voa-islam.com)

Penulis adalah Anggota Komunitas Penulis “Pena Langit”

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version