Oleh Melia Anisa Sa'diyah
Kyai H. Ma'ruf Amin resmi digandeng Joko Widodo sebagai calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Pemilihan ini berlangsung sengit hingga menumbangkan Prof. Mahfud MD.
Menurut Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Adi Prayitno, pertarungan Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi jelas dimenangkan kubu Jokowi-Ma'ruf. Ia menilai pasangan ini akan mendapat poin lebih banyak yakni 1-0. Alasannya karena ada sosok Islam tradisional dan memiliki banyak masa. (cnnindonesia.com).
Adi juga menambahkan bahwa Kyai Ma'ruf Amin adalah sosok ulama yang sangat dihormati terutama dikalangan Nahdlatul Ulama (NU). Juga sebagai Rais Aam yang fatwanya diikuti banyak orang. Dapat dipastikan seluruh NU memilih pasangan Jokowi-Ma'ruf dibanding Prabowo-Sandi yang sama-sama Nasionalis.
Dalam pemilu kali ini Jokowi lebih mementingkan isu agama dibanding isu ekonomi. Menurutnya permasalahan politik di negeri Timur terletak pada isu agama dan bukan ekonomi. Jokowi berkaca dari Syiria yang penuh konflik agama hingga menghancurkan perekonomian Syiria. Dianggap hadirnya Kyai Ma'ruf Amin mampu menjadi dongkrak dalam memperbaiki masalah fundamental negara.
Jerat Demokrasi Bagi Ulama
Terpilihnya Prof. Dr. K. H. Ma'ruf Amin sebagai cawapres yang notabene seorang ulama juga ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang disegani masyarakat, tentu ini merupakan jerat panas.
Pasalnya, aktivitas seorang ulama senantiasa berkutat pada standar Islam. Ia menjadi panutan masyarakat dalam perbuatan, lisan atau dalam hal lain seperti penyelesaian permasalahan masyarakat. Para ulama tentu menjadikan hukum syara' sebagai patokan utama dibanding dengan hukum-hukum yang lain. Senantiasa terikat kepada perintah dan larangan Allah.
Sayangnya, dunia Demokrasi tidak mengenal Islam sebagai standar hidup manusia. Sistem bobrok itu hanya mengenal materi sebagai landasan hidup. Menghalalkan segala cara demi raupan kekuasaan. Bahkan orang semula bersih menjadi munafik.
Teringat saat isu tolak pemimpin kafir, Jokowi beserta kubunya melarang mencampuradukkan politik dengan agama. Dianggap tidak relevan. Menjadikan arah Demokrasi mandeg karena aturan agama yang menentang ini dan itu. Faktanya kini Jokowi menggandeng ulama yang notabene berbackground agama. Tidak dapat dibantah bahwa kemunafikan lahir dari rusaknya sistem Demokrasi.
Lantas, bagaimana seorang ulama akan menanam benih Islam sementara media tanamnya menolak? Tentu sulit. Kalaupun mampu hanya parsial semata. Tidak totalitas.
Berkaca Pada Kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin
Islam menyediakan media tanam yang subur bagi tumbuhnya keteraturan masyarakat. Hingga buahnya mampu dipetik setiap umat. Menjadi asupan nutrisi bagi terbentuknya masyarakat Islam. Menjadikan Aqidah satu-satunya dasar berpikir dan bertindak. Juga hukum syara' sebagai pengontrol perbuatan manusia. Semuanya menjadi seimbang.
Seorang pemimpin, wajib hukumnya menerapkan Islam secara Kaffah di tengah-tengah umat tanpa terkecuali. Seperti Rasulullah menjaga pandangan umat dengan menerapkan aturan wajibnya menutup aurat bagi laki-laki dan perempuan. Juga mengatur strategi perang agar muslim menang di setiap pertempuran. Mengatur distribusi ekonomi secara merata hingga tak ada lagi keluh kesah rakyat akibat kelaparan.
Juga kebijakan penetapan gaji pegawai negara sebatas kebutuhan saja. Sehingga tidak menimbulkan iming-iming kekayaan harta yang berdampak pada perebutan jabatan. Selain itu, Rasulullah menyebarkan Islam melalui dakwah dan jihad. Membebaskan negeri-negeri dari jerat kekufuran.
Kebijakan sesuai hukum syara' juga terlihat pada kepemimpinan setelah Rasulullah. Abu Bakar As Sidiq, Umar bin Khathab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan para Khalifah setelahnya.
Semua dilakukan atas dasar hukum syara'. Bukan menuruti keinginan sebagian dan mengabaikan yang lain seperti dalam sistem Demokrasi.
Ulama Pemimpin Umat
Ulama adalah warisan Rasulullah yang bertugas meneruskan estafet dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Membebaskan manusia dari segala bentuk kemungkaran dan kemunafikan. Juga dari penghambaan kepada selain Allah. Dalam dirinya tercermin pancaran ketaatan. Hanya mengajak manusia pada kebaikan yang diridhai Allah. Bukan kesesatan yang menimbulkan murka.
Ia berada di garda terdepan saat Islam dilecehkan. Tegas atas pengambilan kebijakan yang irrelevan dengan prinsip Islam. Ulama hanya mau Islam satu-satunya landasan lahirnya berbagai kebijakan. Menurutnya hukum Allah adalah hukum tertinggi atas segala hukum.
Juga berkaca dari kepemimpinan Rasulullah dan para sahabat diatas. Senantiasa menjadikan Islam sebagai poros utama sistem pemerintahan. Demi menjaga kesejahteraan umat. Tanpa melirik poros lain yang notabene tidak memahami Islam. Terlebih bahkan mereka berbeda Aqidah. Seperti itulah selayaknya jika ulama memimpin umat. Wallahu a'lam.