Oleh: Zia Almira Yusfina (Aktivis Dakwah, Pegiat di Pena Langit)
Jutaan rakyat Indonesia sempat bertanya-tanya siapakah capres dan cawapres yang akan diusungkan oleh beberapa partai politik indonesia? Dan akhirnya terjawab sudah siapa pasangan capres dan cawapres 2019, usai dua pasangan calon mendaftar ke Kantor KPU pada Jum’at, 10 agustus 2018 lalu.
Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabawo Subianto-Sandiaga Uno telah resmi mendaftarkan diri menjadi capres dan cawapres dalam Pilpres 2019.
Banyak rakyat yang pro dan kontra pada kedua pasangan tersebut. Dimana sebelumnya capres no. 2, Prabowo Subianto diusungkan oleh GNFP ulama dalam ijtima’ ulama untuk berpasangan dengan ulama seperti Salim Segaf Al-Jufri dan Ustadz Abdul Somad namun saran tersebut tidak dipilih oleh Prabowo Subianto.
Calon presiden no. urut 2 ini memilih berpasangan dengan Sandiaga Uno dikarnakan takut mengadu domba Ulama dan rakyat akan menjadi korban dari pilihannya tersebut.
Sedangkan pada kubu seberang, capres dengan no. urut 1 yakni Joko Widodo malah seolah memilih ijtima’ ulama yang mengusung cawapres dari kalangan ulama. Tentu pilihan mereka merupakan salah satu sikap manuver politik.
Dunia nyata beda lagi dunia maya, beberapa akun seperti akun ILC dan Iwan Fals sedang menyelenggarakan polling pilpres 2019, dengan pilihan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan Tidak memilih. Hasilnya cukup membuat revolusi mental ya!
Dari 2 akun tersebut menunjukan bahwa pemilihan presiden jatuh pada Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Sedangkan pasangan capres no. urut 1 menjadi urutan ke 2 dan pada pilihan tidak memilih nilainya cukup rendah.
Polling pilpres tersebut sejatinya tidaklah mewakilkan suara rakyat Indonesia. Menang dan jatuh pada siapa kepemimpinan di negeri ini belum dapat diprediksi, mungkin kita akan bertanya-tanya kenapa belum bisa diprediksi? Yang jelas kemenangan pemilihan presiden sejatinya adalah hak para corporate. Pemodal tentu akan memilih calon penguasa yang dapat memberikan keluasan bagi mereka di dalam negeri ini.
Modal kampanye yang mahal merupakan salah satu mahar untuk mengikat kerjasama antara calon penguasa dengan pemodal. Jika hendak memuluskan bisnisnya di dalam negeri tersebut maka butuh modal yang besar dengan penguasa tersebut. Begitulah sistem kapitalis menjadikan pemimpin serta segala aspek diukur dari materi. Siapa yang royal dan bermodal maka dialah yang menang.
Tentulah gambaran pemimpin diatas jauh dari kriteria dengan gambaran kepemimpinan islam. Dimana kepemimpinan merupakan amanah yang sangat berat pertanggung jawaban kepada Allah Swt. Sampai-sampai Umar bin Khattab pernah berkata “Jika ada seekor onta mati karena disia-siakan tidak terurus. Aku takut Allah memintai pertangung-jawaban kepadaku karena hal itu”.
Begitu berat menjadi pemimpin dalam menjalankan amanah, selain itu islam telah memberikan gambaran bagaimana sosok pemimpin yang sesungguhnya yakni seorang muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu.
Ketuju kriteria tadi menjadi syarat yang harus dipenuhi seorang pemimpin islam jika tidak terpenuhi maka tidak akan menjadi pemimpin kaum muslim maka dengan jelas pemimpin yang tidak amanah dalam kepemimpinananya tidak akan pernah terpilih. Rakyat pun akan tetap terjaga dan terpenuhi dalam mendapati keperluannya.
Sistem pemilihan pemimpin tadi tidak akan mungkin didapat jika kita tetap menerapkan sistem kebebasan bereksperesi namun sistem kepemimpinan islam hanya dapat diwujudkan dengan sistem aturan islam itu sendiri. yah yakni Khilafah Islam ala min hajinnubuwah. Waallahu ‘allam. [syahid/voa-islam.com]