Oleh: Tuti Rahmayani
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Sudahlah divonis mengidap kanker, namun obat yang diharapkan ternyata tak masuk daftar jaminan. Inilah yang dialami Juniarti, pasien kanker payudara.
Juniarti menyatakan akan melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia dan kuasa hukum Hemasari Dharmabumi, berencana menggugat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Presiden Joko Widodo terkait dicabutnya obat kanker trastuzumab dari daftar obat yang dijamin BPJS Kesehatan. (cnnindonesia.com, 17/7/2018)
Dipangkas, Karena Mahal?
BPJS tak lagi menanggung obat Trastuzumab sejak 1 April 2018. Harga obat ini terbilang mahal mencapai sekitar Rp20 juta.
Sebenarnya bukan kali ini saja BPJS memangkas jaminan kesehatan. Sebelumnya BPJS juga mengurangi tanggungan jaminan kesehatan untuk persalinan, pasien katarak dan rehabilitasi medik.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan, terdapat beberapa jaminan yang memakan anggaran cukup tinggi, seperti operasi katarak (Rp2,6 triliun), bayi sehat yang ditagihkan secara terpisah dari ibunya (Rp1,1 triliun), dan rehabilitasi medik (Rp960 miliar). (tirto.id)
Dari sini bisa disimpulkan bahwa pemangkasan yang dilakukan oleh BPJS adalah alasan minimnya dana. Logika untung rugi juga digunakan. Bila BPJS defisit, maka harus berhemat. Logika menyalahkan publik yang tidak taat membayar iuran BPJS pun sering dilontarkan ke publik sebagai alasan BPJS defisit.
Kesehatan Dalam Islam
Dalam menjalankan negara, hendaknya penguasa negeri ini meneladani rosul saw dalam membuat kebijakan. Rasulullah SAW tak pernah memungut biaya bagi umatnya untuk memperoleh jaminan kesehatan. Hal itu tercantum dalam hadis HR Muslim 2207 saat salah seorang sahabat sedang sakit, dan dokter memotong urat dan mengobatinya.Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya
Islam juga mengatur tentang anggaran kesehatan. Negara khilafah sebagai penerap syariat adalah negara yang bermental pelayan rakyat. Kebutuhan rakyat menjadi prioritas negara itu ada. Anggaran pembelanjaan dan pendapatan negara (APBN) khilafah diwujudkan dalam konsep Baitul Mal. Dalam buku Sistem Ekonomi Islam (Nidzamul Iqtishody fil Islam), Syaikh Taqiyyuddin an Nabhani menjelaskan bahwa perkara kesehatan masuk pos pengeluaran baitul mal.
Hal-hal semisal air, jalan, kesehatan (Rumah Sakit) dan pendidikan (sekolah) adalah termasuk keperluan rakyat yang bersifat vital. Artinya, rakyat akan mengalami penderitaan jika perkara ini tidak ada. Pembelanjaannya bersifat paten artinya wajib dipenuhi. Pembelanjaan untuk urusan kemaslahatan umat ini juga tidak disertai kompensasi apapun. Artinya, rakyat tidak dibebani tagihan bila ingin menikmati fasilitas vital ini.
Negara juga akan membiayai riset-riset kesehatan. Penemuan alat kesehatan dan obat-obat baru akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengobatan rakyat. Baik muslim maupun non muslim.
Sementara pos pemasukan bisa diambil dari pengelolaan sumber daya alam yang melimpah di negeri ini. Kekayaan laut, hutan, tambang mineral dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bukan malah diprivatisasi sehingga negara mengandalkan pemasukan dari pajak dan utang berbasis riba.
Inilah yang menjadi salah satu perbedaan mencolok konsep negara kapitalis dan konsep negara dalam Islam (baca: khilafah).
Negara kapitalis melihat rakyat sebagai sapi perah. Sudahlah lelah bekerja mencari nafkah untuk keluarga, masih pula dibebani pajak, tagihan air, listrik, bpjs dll. Sudahlah bayar iuran bpjs, namun sakit yang diderita tak dijamin. Sungguh sebuah kemalangan beruntun.
Berbeda dengan negara khilafah yang menganggap jabatan pemerintahan adalah amanah untuk mengabdi. Rakyat menjadi yang diurusi dan dipikirkan kesejahteraannya. Jauh dari nafsu memperkaya diri sendiri. Mental melindungi dan melayani rakyat diwujudkan nyata, tak sekedar pencitraan belaka. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google