Oleh:Wita Nurul Aini, Volunter Asian Games
Gempa beruntun yang menimpa Lombok belakangan mengakibatkan 555 korban meninggal, 390.529 harus mengungsi dan 36 ribu rumah rusak berat (viva.co.id, 20/08/2018).
Masyarakat diminta untuk bertindak secara mandiri dalam memperbaiki rumah agar perbaikan tidak berjalan lama, begitu anjuran dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Di sisi lain, Gubernur NTB Zulkieflimansyah menilai gempa Lombok butuh untuk naik status menjadi bencana nasional karena keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dalam menangani bencana (viva.co.id, 21/8/2018).
Beberapa dukungan dari kalangan DPR untuk menaikan status bencana Lombok, tidak lantas mempengaruhi keputusan presiden untuk tetap menyerahkan kendali penanganan bencana pada Pemerintah Daerah dengan alasan penanganan tetap dilakukan secara nasional.
Sekretaris Kabinet dikutip dari viva.co.id menjelaskan bahwa salah satu pertimbangan pemerintah tidak menetapkan bencana Lombok sebagai bencana nasional adalah karena ingin menjaga pariwisata di Lombok. Jika status berubah menjadi bencana nasional, seluruh Pulau Lombok akan tertutup dari wisatawan yang artinya kerugian yang ditelan Indonesia menjadi semakin banyak.
Seorang guru bercerita, bantuan di Lombok belum sama sekali bisa dikatakan cukup. Terpal untuk berteduh saja masih banyak kekurangan, anak-anak kedinginan karena tenda tidak memadai, air bersih dan BBM langka, rumah ambruk tak terurus, anak tidak sekolah dan bahkan tidak mandi.
Hal ini terjadi tidak hanya dipelosok tapi juga di pusat-pusat kecamatan. Pak Guru sampai geram membaca berita di media yang menyebutkan penanganan gempa di Lombok sudah baik. Posko nasional yang diberitakan sudah all out, bahkan ia sebut sebagai fitnah yang sangat kejam terhadap korban gempa (radarpribumi.com, 10/09/2018).
Pemerintah Tidak Mau Rugi
Bencana adalah suatu hal yang berada di luar kendali manusia. Mau tidak mau, siap ataupun tidak, bencana bisa datang kapan saja. Meskipun manusia diperintahkan untuk bersabar dalam setiap ujian, namun warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari penguasa tanpa mempertimbangkan untung dan rugi.
Jika untuk ASIAN GAMES saja pemerintah berani mengelarkan banyak uang, kenapa begitu sulit untuk membantu warganya yang sedang kesuahan. Kemegahan Opening Ceremony Asian Games pada 18 Agustus 2018 lalu, disebutkan menghabiskan dana sebesar 685 Miliar (Tempo.co, 19/08/2018).
Nilai tersebut dianggap lebih rendah jika dibandingkan dengan Opening Ceremony Olimpiade London 2012 ataupun olimpiade Musim dingin di Sochi, Rusia 2014 yang menghabiskan dana triliunan.
Bagaimana dengan gempa Lombok? Sedangkan pembangunan rumah dijanjikan akan selesai setidaknya membutuhkan waktu 6 bulan. Walaupun begitu, terimakasih kepada semua pihak yang sudah bahu-membahu dalam penanggulangan gempa Lombok.
Teorinya, penanggulangan bencana terbagi dalam tiga tahapan yaitu pencegahan, tanggap darurat dan pemulihan. Jika kondisi tanggap darurat saja pemerintah masih lalai, bagaimana dengan pencegahan dan pemulihan yang sifat investasi dan manfaatnya jangka panjang.
Padahal kita tahu, bahwa Indonesia merupakan negara dengan potensi gemba bumi yang tinggi. Sedangkan, pengurangan risiko kerugian akibat gempa bumi sendiri harus dilakukan mitigasi jangka panjang dan bukan sehari dua hari.
Jika untuk ASIAN GAMES saja pemerintah berani mempersiapkannya bertahun-tahun sebelumnya, lantas apa halangan pemerintah untuk melakukan investasi perlindungan dari bencana. Di Indonesia, masyarakat tidak pernah sebegitunya disiapkan untuk menghadapi bencana, sehingga kerugian dalam bentuk apapun terjadi dalam jumlah yang besar dengan pemulihan yang lama.
Hal ini menunjukan bahwa pemerintah dalam sistem ini tidak begitu memprioritaskan kebutuhan rakyatnya. Pemerintah lebih takut rugi dibandingkan dengan jaminan terpenuhinya kebutuhan seluruh korban gempa.
Hidup dalam sistem kapitalis memang memang tidak jauh-jauh dari perhitungan materi atau untung rugi dan bukan tawakal pada Allah dengan berusaha semaksimal mungkin untuk menunaikan kewajiban negara terhadap rakyatnya.
Dalam sistem kapitalis ini, masyarakat tidak bisa mengandalkan penguasa untuk memperoleh pertolongan selama penentuan prioritas tidak akan disandarkan pada hukum syara namun lebih pada manfaat dan keuntungan.
Sikap yang seperti ini tidak akan pernah holistik dalam mengatasi permasalahan termasuk dalam urusan bencana. Padahal lalai dalam mengurusi urusan umat termasuk dalam kedzaliman yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Tanpa sistem Islam, penanggulangan bencana di wilayah lainpun akan sama, seandainya daerah lain yang mengalaminya. [syahid/voa-islam.com]