Oleh: Dee An (Ibu Rumah Tangga)
Gempa bumi di lombok yang terjadi tanggal 29 juli 2018 lalu, masih menyisakan luka yang sangat mendalam terutama bagi masyarakat lombok.
Bagaimana tidak, menurut data yang dikutip oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dari Badan Meteorologi dan Geofisika per jumat 24 agustus 2018 saja terjadi 1089 gempa susulan. Kurang lebih 500an jiwa meninggal dunia, dan 400 ribuan lebih jiwa harus mengungsi karena kehilangan tempat tinggalnya.
Gempa susulan yang bertubi-tubi memperparah kondisi psikis masyarakat lombok. Masih banyak daerah yang belum menerima cukup bantuan, sehingga justru hal tersebut justru menambah beban mereka.
Namun, hingga saat ini kita masih belum menyaksikan kekompakan penanganan gempa bumi lombok tersebut. Bisa jadi, kita sudah saksikan bahwa masyarakat telah berduyun-duyun menyumbangkan memberikan yang terbaik apa yang mereka punyai. Tapi, bagaimana dengan penguasa selaku pengurus rakyat?. Bukankah tanggung jawab utama masalah itu ada di pundak mereka?.
Permintaan DPRD dan Gubernur lombok untuk menjadikan bencana gempa bumi lombok menjadi bencana nasional masih belum ada tanggapan dari pusat. Mengapa?, salah satu alasan yang paling miris adalah karena status tersebut hanya akan menurunkan potensi wisata pulau NTB yang selanjutnya akan menurunkan devisa negara.
Ini sungguh miris, bagaimana mungkin penguasa melihat pengurusan rakyat adalah tentang laba rugi sebagaimana jual beli?
Kita juga melihat bagaimana beberapa kali gempa di lombok justru menjadi ajang pencitraan bagi pasangan tertentu yang akan mencalonkan menjadi presiden.
Maka, jangan heran kalau penanganan pemulihan pasca gempa di Lombok akan sangat lambat adanya ‘drama bencana’ ini tidak hanya terjadi saat ini saja, hampir di setiap bencana yang terjadi di Indonesia ini, penanganannya belum maksimal. Seakan-akan korban bencana tersebut diminta untuk menyeleseikan masalahnya sendiri. Bahkan, hingga ada yang rela untuk ‘menjual’ aqidah dan agamanya demi mendapatkan bantuan pasca bencana.
Senadainya jika kepengurusan negara ini bukan atas asas materi untung rugi, di wilyah yang memang rawan gempa di Indonesia akan kita temukan semangat untuk membekali kemampuan warganya untuk meminimalisir resikonya.
Tak lupa, karena bencana adalah sebuah qodlo dari Sang Maha Pengatur yang tak bisa hindarkan, pencegahan bencana tidak hanya akan dilakukan dengan pencegahan secara psikis saja, tetapi juga dengan meningkatkan dan senatiasa taat dengan aturan Pencipta dan sekaligus Pemilik Alam Semesta ini.
Sehingga penguasa akan berusaha memberikan upaya pencegahan sekaligus dorongan untuk semakin bertaqwa pada Allah Sang Pencipta, bersama-sama dengan rakyatya saling berlomba berfastabiqul khoirot dengan perannya masing-masing. Bagaimana jika kemudian terjadi bencana? maka akan ada pemulihan yang dilakukan semata bukan karena materi untung rugi, tapi murni karena ketaatan kepada Allah dan pengurusan rakyat.
Sekaligus penguasa tentunya akan mengevaluasi kinerjanya dalam mengurusi hal tersebut, tak lupa pula adakah kemaksiyatan yang dilakukan sehingga membuat Allah ‘marah?’. Dan tentunya penguasa juga akan mengajak masyarakatnya untuk bersama-sama memuhasabahi kehidupan mereka selama ini.
Tidak ada yang egois, merasa paling benar sendiri dan tak mau dievaluasi. Ini hanya mungkin terjadi, jika negeri mayoritas muslim ini tak diurusi dengan model kapitalis yang mengedepankan untung rugi, tapi hanya diurusi dengan aturan Allah, Sang Pencipa dan Pengatur.
Andai seperti ini, bukankah adanya bencana akan semakin meningkatkan ukhuwah dan persaudaraaan suatu negeri?, suatu negeri makin kuat dan kokoh.
Penguasa adalah sosok yang taat dengan aturan Allah Sang Pencipta n Pengatur yang senantiasa mengajak masyarakat untuk taat pada Allah dalam setiap tempat dan waktu. Bencana menjadi ajang pemersatu dan perbaikan negeri yang diurusinya.
Rakyat jika diurusi seperti ini tentunya juga akan sejahtera, bahagia dan taat pada penguasanya. Dan tak lupa, Peluang mendapatkan Surga pun juga akan mudah didapatkannya, baik oleh rakyat maupun penguasa. Wallahu a’lam bi showaab. [syahid/voa-islam.com]