Oleh: Ummu Hanif
Dalam berita yang dirilis liputan6.com, pada 25/8/2018, Pengadilan Negeri Medan memvonis Meiliana 18 bulan penjara karena terbukti menodai agama setelah meminta pengurus masjid mengecilkan volume pengeras suara azan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyesalkan reaksi beberapa pihak atas vonis Meiliana yang justru menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
MUI meminta pihak yang mempersoalkan vonis yang diberikan kepada Meiliana melihat kasus tersebut secara luas. Sebab, MUI berpandangan kasus menjerat Meiliana tak hanya sebatas volume suara azan melainkan keluhan disampaikan terdakwa mengandung unsur penodaan agama.
MUI mengungkap kasus yang dialami Meiliana sama halnya dengan yang dialami Rusgiani (44) yang dipenjara 14 bulan karena menghina agama Hindu. Ibu rumah tangga itu menyebut canang atau tempat menaruh sesaji dalam upacara keagamaan umat Hindu dengan kata-kata najis.
Kemudian kasus penodaan agama dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat berpidato di Jakarta Utara. Ahok divonis 2 tahun penjara usia majelis hakim menilai pidatonya terbukti melakukan penodaan agama karena menyinggung surat Al Maidah ayat 51.
MUI berharap agar masyarakat mengambil hikmah dan pelajaran berharga dari berbagai kasus yang terjadi. Yakni dalam sebuah masyarakat yang majemuk dibutuhkan kesadaran hidup bersama untuk saling menghomati, toleransi dan sikap empati satu lainnya.
Sebagai orang yang mampu melihat hal ini dengan jernih, sebenarnya kita bisa melihat, bahwa kasus Meiliana adalah murni kasus penodaan agama, tapi dimanfaatkan kalangan sekuleris untuk target menghapus UU penistaan agama dengan mempertajam isu intoleransi serta isu minoritas dan mayoritas dengan dibantu media - media sekuler mainstream.
Dengan melihat, banyaknya kasus penodaan agama, sebagaimana yang telah disebutkan di atas dan masih banyak lagi contohnya, kasus penistaan agama akan terus terjadi selama demokrasi sekulerisme diadopsi sebagai sistem kehidupan.
Karena standar benar salah sangat subyektif, tergantung penafsiran manusia. Padahal setiap manusia memiliki nilai rasa yang sangat berbeda. Tergantung latar belakang kehidupan, pendidikan, agama dan lain sebaginya.
Dalam sistem islam, standar benar salah sangat jelas. Benar adalah apa yang dikatakan syara’ benar. Dan salah adalah apa yang dikatakan syara’ salah. Karena memang pada hakekatnya, manusia tidak tahu mana yang baik atau buruk. Keterbatasan akalnya menjadikannya tidak tahu hakekat benar dan salah serta baik dan buruk.
Oleh karena itulah, manusia butuh buku petunjuk yang dibuat oleh sang pencipta. Karena yang pasti tahu benar atau salah serta baik atau buruk adalah sang pencipta. Sehingga hanya dengan penerapan sistem islamlah aqidah umat terjaga dan toleransi hakiki bisa diwujudkan. Wallhu a’lam bi ash showab. [syahid/voa-islam.com]