View Full Version
Selasa, 25 Sep 2018

Investasi, Jalan Pintas Intervensi?

Oleh : Hasni Tagili, M. Pd

 

Program investasi nasional di Indonesia terus bermunculan. Termasuk di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kecamatan Morosi. Di sana, berdiri sebuah smelter pengolahan nikel dengan investasi triliunan rupiah. Perusahaan itu dioperasikan oleh PT Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI).

Menyoal Investasi Asing

Keberadaan PT VDNI, di tanah Konawe tak terlepas dari kolaborasi antara eksekutif, dalam hal ini Pemerintah Daerah Konawe dan juga legislatif, dalam hal ini Dewan Peerwakilan Rakyat Daerah Konawe. Baik Pemda dan DPRD sama-sama membuka ruang selapang-lapangnya untuk kegiatan industri di Morosi (Sultrakini.com, 06/09/2018).

Bupati Konawe, Kery Saiful Konggoasapernah mengungkapkan bahwa salah satu alasan masuknya VDNI ke Morosi adalah tidak adanya syarat khusus yang diminta Pemda. Hal itu demi mendukung program investasi nasional dan membuka lapangan kerja bagi warga Konawe.

Ketua DPRD Konawe sebelumnya, Gusli Topan Sabara juga memiliki pemikiran sama dengan Bupati Konawe. Bahwasanya, salah satu alasan masuknya investor ke Konawe adalah kemudahan akses yang diberikan pemerintah.

Berbicara mengenai investasi PT VDNI, tentu tidak lepas dari program investasi Cina kepada Indonesia. Mengingat, Perdana Menteri China Li Keqiang pernah bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla selama kunjungan kenegaraannya ke Indonesia pada 6-8 Mei 2018 lalu. Kunjungan Li juga menandai lima tahun kemitraan strategis dan komperehensif Indonesia-China dan 15 tahun kemitraan strategis ASEAN-China.

Selama kunjungan di Indonesia, Li dan Jokowi akan mengeluarkan pernyataan bersama dan menandatangani beberapa dokumen kerja sama berbagai sektor, termasuk perdagangan dan investasi(Cnnindonesia.com, 07/05/2018).

Terkait hal ini, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan, ketika membahas investasi dari luar negeri, maka beberapa hal yang perlu ditegaskan antara lain transfer of technology, masalah hulu dan hilir, penggunaan tenaga kerja, dan terkait lingkungan (Viva.co.id, 05/05/2018).

Jalan Pintas Intervensi?

Jika ditelisik lebih dalam, hubungan kemesraan Indonesia dengan asing bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Diawali dengan pembukaan keran impor perdagangan, serbuan tenaga kerja asing yang jumlahnya sangat banyak, tenaga pengajar impor, lalu berbagai macam kerjasama dengan asing. Termasuk pemberian pinjaman (investasi).

John Perkins dalam bukunya, A Confession of Economic Hit Man, mengatakan bahwa salah satu modus intervensi adalah melalui strategi pemberian pinjaman. Perkins menyebutkan, pinjaman diberikan terus-menerus agar negara yang dituju akhirnya terjebak utang yang diterimanya itu. Sehingga secara politik dan ekonomi menjadi tergantung. Pada saat itu berbagai macam intervensi dengan mudah dilakukan.

Sebut saja proyek kereta cepat (High Speed Train) rute Jakarta-Bandung yang telah dibangun mulai 21 Januari 2016 lalu. Untuk proyek ini, dibutuhkan dana mencapai US$ 5,5 milyar atau Rp. 75,9 triliun (US$ 1=Rp 13.800). Dilansir dari Detikfinance.com, 13/01/2016, proyek ini 75% berasal dari utang kepada China Development Bank (CDB) sebesar US$ 4.124 miliar atau Rp 57 triliun. Adapun 25% nya berasal dari kontribusi PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) sebesar US$ 1.375 miliar atau Rp 18,9 triliun. 25% kontribusi KCIC itu bersumber dari setoran 15% PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan 10% China Railway Internasional (CRI).

Campur tangan ekonomi Cina ini merupakan bagian dari kerjasama Indonesia-Cina yang ditandatangani tahun 2015. China melalui sejumlah lembaga keuangannya, seperti Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) dan China Development Bank (CDB), memiliki komitmen mega proyek pemerintah dan BUMN Indonesia. Di antaranya, kereta cepat rute Bandung-Jakarta, kereta api ringan atau Light Rail Transit (LRT), jalan tol Trans Sumatera, dan pembangkit listrik 35.000 mega watt (Detikfinance.com, 30/06/2015).

Tak tanggung-tanggung, utang yang diberikan Cina adalah US$ 50 miliar atau setara Rp 650 triliun (US$ 1=Rp 13 ribu). Pembangunan infrastrukur nasional yang dibiayai dari utang tersebut sekarang sedang berjalan dan mendapat kritikan dari berbagai kalangan.

Investasi Cina ini juga tidak lepas dari strategi global China, yakni Silk Road Economic Belt (SERB) in Asia (Sabuk Ekonomi Jalur Sutra di Asia) dan Maritime Silk Road Point (MSRP) atau titik Sutra Maritim (Scdc.binus.ac.id, 01/03/2017). MSRP ini tujuannya untuk menguasai jalur perdagangan laut, yang antara lain melalui selat Malaka dan ini sejalan dengan proyek tol laut rezim saat ini.

Intervensi tidak berhenti sampai disitu. Lihat saja betapa sumber daya alam negeri ini diprivatisasi dan diswastanisasi habis-habisan lewat UU Penanaman Modal Asing (PMA). Belum lagi UU pengaturan Migas telah mengikuti skema pasar Internasional yang ditandai dengan pencabutan subsidi bagi rakyat miskin. Pun, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi asing untuk bekerja di negeri kita. Aneh memang kedengaran, tapi itulah faktanya.

Islam Memandang

Dalam Islam, intervesi asing, baik secara aturan maupun kebijakan, tidak diberikan celah. Negara menjamin kedaulatan dengan sistem pemerintahan yang hanya tunduk pada visi politik Islam. Menjadikan Islam dan kaum muslim memiliki posisi mandiri. Sehingga, tidak mudah tergoda pada intervensi berupa investasi dan kerjasama.

Islam mencegah terjadinya intervensi asing dalam aturan dengan cara melihat secara langsung apakah aturan yang disodorkan oleh negara asing itu sesuai syariat atau tidak. Jika bersesuaian, maka diterima. Jika bertentangan, maka ditolak.

Begitu juga jika menyangkut pilihan kebijakan. Di sinilah peran penting rakyat dan partai. Dalam Islam, rakyat dan partai politik mendapat tugas untuk mengawasi pelaksanaan syariah. Mereka wajib mengontrol para penguasa jika ada penyimpangan terhadap syariah. Jika ini benar-benar membudaya maka penyimpangan bisa dihindari. Campur tangan asing bukan hanya mendapat pengawasan pemerintah, tetapi juga rakyat.

Dalam Islam dibolehkan untuk menjalin hubungan diplomatik atau hubungan lainnya. Semisal hubungan perdagangan, kerjasama ilmu dan teknologi, hubungan komunikasi dan transportasi, dan semacamnya. Hubungan tersebut boleh dijalin asalkan memenuhi tiga kondisi.

Pertama, negara-negara tersebut tidak termasuk negara kafir muharibah fi’lan yaitu negara kafir yang tengah berperang atau memerangi kaum muslimin. Kedua, tidak tergolong negara kafir yang membantu negara kafir lainnya (bersekutu) dalam memerangi kaum muslimin. Ketiga, negara-negara tersebut tidak sedang bermusuhan dan tidak memiliki ambisi untuk mencaplok negeri-negeri Islam. Sebagaimana diriwayatkan dari Abi Rafi bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya aku tidak memenjarakan seseorang karena adanya perjanjian, dan aku juga tidak akan memenjarakan para utusan (negara lain).”

Dengan demikian, terkait investasi asing, seyogyanya tidak perlu ada. Sebab, itu indikasi bahwa ada gejala intervensi. Wallahu a'lam bisshawab.

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version