Oleh: Edy Mulyadi*
Perbincangan seputar utang luar negeri (ULN) Indonesia selalu saja menarik. Pasalnya, total utang pemerintah sampai Agustus 2018 tercatat Rp4.363 triliun. Total utang tersebut naik Rp537,4 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sebesar Rp3.825 triliun. Dengan perkiraan Produk Domestik Bruto (PDB) 2018 yang mencapai Rp14.395 triliun, rasio utang itu terhadap PDB sudah
Rasio utang terhadap PDB yang 30,31% sudah melewati batas psikologis yang ditetapkan, yaitu 30% dari PDB. Tapi, tetap saja Pemerintah menganggap jumlahnya masih sangat aman. Bukankah rezim ini berpegang pada UU Keuangan Negara no 17/2003 yang memberi batas maksimal rasio utang dan PDB sebesar 60%? Jadi, kalau hari ini rasionya 30,31% tentu saja masih amaaaan.
Batasan rasio utang terhadap PDB yang 60% itu benar-benar menjadi area superlega bagi Pemerintah untuk bermanuver menangguk utang, lagi dan lagi. Simak saja pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati Mei silam di Sukoharjo, Jateng. Perempuan yang dikenal sebagai pejuang neolib paling gigih di Indonesia ini menyatakan, total utang Indonesia yang pada akhir April mencapai Rp4.180 triliun masih berada di bawah batas aman. Pasalnya, utang baru disebut gawat bila angkanya menembus Rp8.400 triliun, alias 60% dari PDB.
Rp8.400 triliun, man! Artinya, masih ada ruang untuk berutang lagi hingga Rp4.000an triliun. Memang, belum tentu Sri akan menjaring utang lagi hingga total sampai Rp8.400 triliun. Selain jumlahnya kelewat jumbo, juga nyaris mustahil dia menambah utang Indonesia sampai Rp4.000 triliun lagi dalam waktu kurang dari setahun masa rezim sekarang berkuasa.
Tapi harap jangan lupa, sebelumnya dia juga menyatakan, Indonesia punya aset berupa sumber daya alam melimpah. “Sri Mulyani: Kenapa Takut Utang? Harta Kita Banyak” seperti dimuat pada laman Kompas.com edisi 11 Agustus 2017 (https://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/11/073000826/sri-mulyani--kenapa-takut-utang-harta-kita-banyak).
Paradoks dan ngeyel
Sikap adem-ayem Sri dalam hal utang ini menjadi paradoks, ketika dia menyatakan tahun depan berat jumlah utang yang jatuh tempo cukup tinggi. Kepada kru media saat pers Nota Keuangan dan RAPBN 2019, di Jakarta, 16/8/2018, dia mengatakan jumlahnya mencapai Rp409 triliun.
Tapi bukan Sri kalau tidak ngeyel. Itu sebabnya meski mengakui jumlahnya terbilang cukup besar, tetap saja dia mengklaim bahwa pengelolaan utang negara saat ini semakin baik. Apalagi dia tidak lupa berkelit, bahwa besarnya pembayaran utang itu disebabkan banyaknya utang masa silam yang jatuh tempo.
Sri menyalahkan utang Pemerintah masa lalu yang jatuh tempo tahun depan. Tidakkah dia menyadari, bahwa ribuan triliun utang yang kini dia buat pun akan jadi beban Pemerintah berikutnya? Itu artinya, gunungan utang yang dibuatnya semasa dua kali menjadi Menkeu, akan menjadi beban anak cucu rakyat di masa depan. Sadar ga, sih?!
Rp409 triliun 'saja' sudah dia anggap berat. Padahal, total utang di masa silam itu pasti jauh lebih kecil ketimbang total utang rezim sekarang. Lalu, berapa beban yang harus tiap tahun dibayar rakyat Indonesia di masa depan dengan ribuan triliun utang baru yang dia buat? Pastinya, jumlanya akan jauh lebih besar daridapa Rp409 triliun yang dia keluhkan.
Sejatinya, ada dua biang kerok dari melambungnya utang yang terus dibuat dengan sikap ayem-tentrem. Pertama, paham neolib yang menjadi ajaran suci Menkeu dan jajarannya. Kedua, UU Keuangan Negara no 17/2003. Kombinasi mazhab neolib dan batas aman rasio utang 60% dari PDB inilah yang membuat Pemerintah tanpa merasa berdosa terus menimbun dan mengalihkan beban kepada anak-cucu di masa depan.
Debt to service ratio
Padahal, ada nisbah lain yang lebih masuk akal guna mengerem nafsu berutang yang tak terkendali. Ekonom Bank Dunia dan IMF sepakat menggunakan debt to service ratio (DSR) sebagai patokan mereka dalam menangani pengelolaan beban utang di negara-negara berkembang.
Mereka membuat tiga kategori batasan rasio utang dan DSR. Pertama, batas atas beban utang untuk DSR sebesar 25% untuk negara dengan kebijakan yang kuat. Kedua, DSR 20% untuk negara dengan kebijakan menengah. Ketiga, DSR 15% untuk negara dengan kebijakan lemah. Bila indikator DSR belum masuk dalam perundangan Indonesia, seharusnya sudah mulai dipertimbangkan untuk dimasukkan. Agak mengherankan, bagaimana mungkin Sri yang pernah menjadi petinggi di IMF dan Bank Dunia terus saja mengabaikan perkara DSR ini. Sampeyan bisa jelaskan, Sri?
DSR mencerminkan kemampuan suatu negara untuk menyelesaikan kewajibannya dalam membayar utang luar negeri. Rasio ini membandingkan beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dengan jumlah penerimaan ekspor. Kian besarnya DSR menunjukkan utang tidak dikelola secara hati-hati. Serunya lagi, Sri justru bolak-balik mengklaim utang dikelola secara prudent.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang cenderung naik pada 2018. Adanya risiko eksternal berupa kebijakan moneter negara-negara maju plus pengelolaan utang luar negeri (ULN) Indonesia yang belum optimal, diperkirakan bakal mendongkrak angka DSR jadi 35%-38%. Tentu saja, angka ini telah melampaui batas maksimal DSR yang ditetapkan IMF sebesar 25%. Artinya, menurut dia, utang sudah lampu merah.
Jauh sebelum Bhima bersuara, warning serupa sudah disampaikan ekonom senior Rizal Ramli. Paling tidak sejak dua tahun silalm, dalam banyak kesempatan dia mengingatkan ekonomi Indonesia sudah lampu kuning. Jika pemerintah, khususnya Menkeu asyik berkelit sambil terus memberi laporan asal bapak senang (ABS) kepada Presiden, bukan mustahil lampu kuning tadi berubah menjadi merah.
Seperti kata Rizal Ramli, alarm itu sesungguhnya sudah meraung-raung sejak waktu lama. Indikatornya, setiap tahun pembayaran utang pokok dan bunga utang terus meningkat. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) selama empat tahun terakhir, rata-rata kenaikan pembayaran utang pokok dan belanja bunga utang, masing-masing 16% dan 19% per tahun.
Lunglainya rupiah terhadap dolar Amerika semestinya menjadi momentum untuk meningkatkan ekspor. Kalau devisa yang berhasil diraup naik, maka dengan sendirinya DSR pun bakal turun. Sayangnya, para menteri ekonomi di bawah komando Menko Perekonomian Darmin Nasution seperti gagap menghadapi pelemahan rupiah. Mereka justru sibuk menyalahkan faktor eksternal ketimbang melahirkan kebijakan untuk mendongkrak ekspor.
Ketidakmampuan ini juga ditunjukkan dari tidak optimalnya nilai tambah dari utang yang ditarik dalam mendorong kualitas ekspor. Akibatnya, kendati nilai ekspor Indonesia Januari-November tahun ini tumbuh 17% year on year (YoY), sampai kuartal 3-2017, DSR Indonesia justru berada di level 28,3%. Tentu saja, ini jauh lebih tinggi dibanding lima tahun sebelumnya yang masih 17,28%.
Sri boleh saja terus berkelit. Tapi rangkaian data menunjukkan rata-rata pertumbuhan utang pokok dan belanja bunga utang era Jokowi memang lebih tinggi ketimbang rezim sebelumnya. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, rata-rata angkanya masing-masing sekitar 11% dan 7% per tahun.
Katanya jagoan, kok kinerjanya babak-belur di bawah banderol? Kalau cuma jago utang, anak kecil juga bisa. Ga percaya? Suruh saja dia ke warung tetangga sebelah rumah, terus bapaknya bilang, “Tenang, harta saya masih banyak!” [syahid/voa-islam.com]
*) Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies