View Full Version
Selasa, 02 Oct 2018

Tsunami, Penjarahan, dan Negarawan Sejati

Oleh:

Mila Ummu Nadhirapenulis pegiat dakwah Islam di Malang

MENTERI Dalam Negeri Tjahyo Kumolo membantah terjadi penjarahan toko dan SPBU di kota Palu, dua hari setelah gempa dan tsunami  melanda kota tersebut. “Kita sudah perintahkan untuk Alfamart dan Indomaret itu sudah bisa diambil barang-barangnya. Catat semua yang diambil, diinventaris.  Kami (pemerintah) akan bayar itu semua. Tidak ada penjarahan,” kata Mendagri. Keputusan ini diambil karena warga kesulitan mendapatkan makanan. (bbc.com, 30/9/2018).

Memang sempat beredar informasi bahwa “Pemerintah membolehkan ‘menjarah’ minimarket di wilayah (terdampak) gempa dan tsunami, Palu dan sekitarnya”, tapi apakah benar ada segelintir warga malah melakukan penjarahan?  Seperti dilaporkan beberapa media,  ratusan orang melakukan penjarahan BBM di salah satu SPBU di kota Palu. Penjarahan pun terjadi di berbagai minimarket di Palu dan Donggala.  Tidak hanya dua toko yang disebut Mendagri di atas (Liputan6.com, 30/9/2018).   Bukan hanya bahan makanan, terlihat pada sebuah foto yang beredar luas, dua orang berboncengan sepeda motor juga menyempatkan mengambil ban motor yang masih terbungkus plastik.  Selain tentu menjarah beberapa kardus produk makanan (instan). (makassar.tribunnews.com, 29/9/2018).

AS Hikam, politikus senior, melalui akun Facebook-nya mengkritik kebijakan spontan pemerintah tersebut.  “Tidak ada bangsa dan negara yang beradab, yang pemerintahnya izinkan penjarahan terhadap toko-toko,” tulisnya.  Hal ini juga diamini oleh Ketua Umum Aprindo, Roy N Mandey.  “Pemerintah seolah-olah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bertindak di luar tata krama, moral, etika, multitafsir dan kurang berbudaya,” tulisnya kepada media.  Apalagi dilakukan tanpa koordinasi kepada pemilik usaha atau Aprindo sebagai asosiasi peritel.  (eramuslim.com, 1/10/2018)

 

Penjarahan, Mengapa Bisa Terjadi?

Mengapa harus menjarah ? Ini menjadi ‘kebiasaan’ bagi warga yang mengalami musibah? Kayaknya tidak juga.  Sedikit flash back pada tahun 2011, Jepang pernah mengalami gempa 8,9 SR yang segera disusul tsunami dahsyat setelahnya.  Bahkan PLT nuklir di Fukushima meledak, menyebabkan pemadaman listrik di sana.  Banyak testimoni yang menyatakan salut atas kondisi dan sikap masyarakat Jepang.  Mereka sangat kuat, tidak chaos dan tertib dalam membenahi kondisi mereka yang -tentu saja- sangat memprihatinkan.  Mereka merasakan kepedihan atas korban jiwa dan hilangnya harta, tapi tak larut dalam duka apalagi main jarah punya orang lain.  Yang ada, mereka saling membantu dan mendahulukan orang lain. Prinsipnya, mereka berupaya untuk membuat keadaan tidak semakin parah.  Salut! Tulis Dian Nur Rahadiani di akun Universitas Ahmad  Dahlan.  Dian Nur adalah salah satu WNI  yang kebetulan sedang menempuh pendidikan di Osaka University, Jepang, dan menjadi  pengungsi karena musibah tersebut. (uad.ac.id, 14/3/2011). 

Dalam testimoni yang lain, digambarkan ketika terjadi gempa pada 11 Maret tujuh tahun silam, di sebuah supermarket di Jepang barang-barang berserakan.  Apa yang terjadi pada para pengunjung di sana?  Mereka hanya mengambil barang yang ingin dibeli. Trus tetep antri seperti biasanya untuk membayar belanjaannya. Antri dan bayar!  Sila bandingkan dengan di Indonesia.

Keadaan masyarakat ketika mendapat musibah, juga kesanggupan menanggung berbagai kesulitan, sangat bergantung dengan pemahaman yang dimiliki.  Termasuk kemampuan kontrol atas sikap atau aktifitas apa yang boleh dan tidak.  Memang ada segelintir manusia yang seolah meminta pemakluman atas “tindakan salah” yang mereka lakukan dengan alasan mereka lapar atau  sedang tertimpa kemalangan.  Meski pun di sisi lain, ada orang yang mengalami hal yang sama tapi mampu bersabar dan tidak berbuat sesuka hati.

Kita memang berduka, maka kesedihan dan kepedihan akan kehilangan banyak hal itu adalah normal.  Namun sudah seharusnya sebagai bangsa yang “beradab” tak boleh seenaknya mengabil apa yang bukan haknya.   Pemerintah pun harusnya sigap, cepat tanggap dan tidak melakukan aktifitas kontra produktif ketika menyikapi berbagai peristiwa pada rakyatnya.  Jangan asal mengambil kebijakan, kalau terjadi protes baru klarifikasi.  Itu bukan model negarawan sejati.

Menjarah, Mencuri Bolehkah Ketika Kelaparan ?

Dalam Islam, dalam rangka mempertahankan kehidupan seseorang tidak dianggap melakukan tindak kriminal, kalau dia terpaksa mencuri.   Atau jika tidak ada lagi makanan yang halal, dia dibolehkan makan daging bangkai. Padahal jelas mencuri itu diharamkan (QS. Al Maidah :38), memakan bangkai pun demikian (QS. Al Maidah:3).

Nabi telah bersabda: “Tidak ada hukum potong tangan (bagi pencuri) pada masa-masa kelaparan." ( HR. Al Khathib al Baghdadi).

Karena Islam memandang hidup adalah hak setiap orang.  Maka menyambung hidup merupakan sebuah kewajiban syariat.  Dibebankan kepada setiap muslim.  Jika dia tak mampu untuk bekerja, atau karena bencana tak mungkin untuk bekerja dan mencari penafkahan, atau kerabatnya pun tak mampu juga, maka semua kebutuhannya akan  ditanggung negara (Baitul Mal).   Selain itu, dia juga punya hak lain dari pos zakat.   Allah Swt berfirman :  “ Orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak minta-minta).” (TQS. Al Ma’arij : 24-25).

Nah, jika semua itu diabaikan, demi melanjutkan kehidupan, baru dibolehkan mencuri (melakukan yang haram) sekadar makan saja.  Semua adalah kondisi khusus, ketika terjadi kedaruratan yang membahayakan jiwa.  Itu pun batasannya adalah mencuri bahan makanan secukupnya.  Misal, orang yang kelaparan mencuri sepotong atau dua potong roti, agar dia dan keluarganya tidak kelaparan. Inilah keadaan “terpaksa” yang dibolehkan.  (An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, Kebutuhan atas harta untuk menyambung hidup, hal 148 : 2010).

Bukan mencuri -sebanyak-banyaknya- untuk nyetok sembako di rumah. Bukan!  Itu mah, aji mumpung namanya.  Apalagi plus ban motor, cat, dan berbagai peralatan elektronik. Apa itu namanya kalau bukan penjarahan. Ini jelas diharamkan dalam Islam!

Apa yang terjadi di Palu dan sekitarnya, tidak akan menimbulkan kritik kalau pemerintah sigap dengan berbagai kemungkinan. Tidak hanya korban tewas yang harus dipikirkan. Apalagi diduga kuat bisa mencapai ribuan.  Karena sampai Ahad siang (30/9) korban tewas mencapai 832, seperti kata juru bicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho,”Korban yang diduga tertimbun reruntuhan, masih banyak. (Juga) banyak daerah yang belum terjangkau.”

Korban selamat pun harus diurusi, ya terkait pangan dan kebutuhan pokok lainnya.  Pasokan BBM, air bersih, juga lumpuhnya jaringan komunikasi di daerah terdampak.  Kekuatan tsunami di laut sekitar 400 km/jam yang ketika menghantam daratan daya rusaknya luar biasa. Menghancurkan infrastruktur.  (bbcnews.com).

Maka semua pihak, terutama wilayah terdekat yang tidak terdampak gempa dan tsunami segera mengulurkan bantuan seoptimal mungkin. Tak perlu ada imbauan untuk ‘menjarah’ karena in-sha Allah persaudaraan kita sangat baik. Itu semestinya dimotivasi dan dicontohkan oleh para pemimpin.

“Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, dan dia mengetahuinya.” (HR al Bazzar). 

 

Khalifah Umar dan Musibah

Terkait ikhtiar penguasa yangdilakukan ketika terjadi bencana alam, maka sepatutnya melihatteladan dari Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa Beliau menjabat sebagai amirulmukminin, terjadi musimpaceklik di seluruh kawasanjazirah Arab. Tanaman-tanamangagal panen, termasuk lahan-lahan di sekitar lembah SungaiEuprat, Tigris, dan Nil. Banyakorang-orang yang masuk keMadinah, ibukota khilafah,  untuk meminta bantuan.

Akhirnya Khalifahmembentuk tim untukmenanggulangi bencanakekeringan ini.Setiap orang dari timpenanggulangan bencanaditempatkan pada pos-pos diperbatasan Kota Madinah untukmencatat hilir mudik orang yangmencari bantuan makanan.Hingga tercatat sepuluh ribu orang yang masuk ke dalam kota.  Lima puluh ribuorang yang masih berada didaerah asalnya. Khalifah Umarsegera menyalurkan bantuan kepada orang yang berada di luar Madinah dan menampung orangyang mengungsi.

Khalifah Umar memberikansegalanya hingga tidak ada lagi yangdapat diberikan. Kemudiankhalifah mengirim suratkepada Abu Musa di Bashrah danAmru bin Ash di Mesir yangberisi, “Bantulah umat Muhammad, mereka hampir binasa”. Kemudian kedua gubernur mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar hingga mencukupi kebutuhan pangan rakyat yang mengalami musibah kekeringan. Selain itu, Khalifah Umar pun senantiasa bermunajat kepada Allah melalui doa meminta turun hujan bersama paman Nabi, Abbas.

Sungguh mulia sang dalam mengayomi rakyatnya. Ia tak malu untukterjun langsung menjadi pelayan bagi rakyatnya yang membutuhkan bantuannya. Ia pun tidak mempermasalahkan tubuhnya kurus dan kulitnya yang menghitam, karena ia dan rakyatnya sama-sama merasakan sulitnya dilanda musim paceklik.Tidak ada perlakuan khusus terhadap Umar selama musim paceklik.

Umar ra. mengatakan,“Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan. ”Khalifah Umar menyadari bahwa ia akan mempertanggungjawabkan posisinya sebagai pemimpin ketika nanti di Yaumul Hisab. Beliau betul-betul paham makna hadits Nabi berikut:  “Imam (waliyul amri)adalah pengurus rakyat dan diabertanggung jawab atas rakyatyang dia urus.”

Memang sudah seharusnya, pemimpin yang negarawan selalu fokus dan bersungguh-sungguh mengerahkan segala pemikiran dan tenaga untuk mengatasi korban bencana, di mana pun itu. SebagaimanaKhalifah Umar yang fokus mengatasi problem dampak dari paceklik selama sembilan bulanlamanya.

Jangan cuma buat pencitraan dikatakan “bagaikan Umar bin Khattab” , tapi tak mau berpeluh-peluh dan ikut merasakan kesusahan mereka yang tetimpa musibah.  Jabatan itu amanah, jangan sampai anda (para penguasa)  masuk neraka karena rakyat dbikin susah. Naudzubillah.


latestnews

View Full Version