Sahabat VOA-Islam...
Tak hanya hari-hari ini, Tanah Air tercinta tak henti-hentinya mengalami gempa. Sejak gempa 7 SR di Lombok pada 5 Agustus, disusul gempa 7.4 SR disertai tsunami dan likuifaksi di Palu pada 28 September, kemudian gempa 6.4 SR di Laut Bali yang mengguncang Pulau Sapudi di Sumenep, Madura dan Situbondo, yang terasa pula di Bali, Banyuwangi, bahkan Malang.
Banyak orang yang menyampaikan penyebab musibah ini, mulai dari segi keilmuan, analisis dan sebagainya. Memang, bencana alam adalah fenomena alam yang dapat dijelaskan oleh ilmu fisika atau ilmu alam. Namun ingatlah, jauh dibalik itu semua, semua yang terjadi di alam ini adalah kekuasan Allah, yang Maha Mengatur Alam Semesta.
Ilmu manusia manapun tidak ada yang bisa melawan dan meramal kehendak Allah. Bisa jadi musibah adalah azab yang Allah turunkan sebab kemaksiatan yang dilakukan manusia, sebagaimana isu yang menghubungkan antara gempa dan tsunami dengan kegiatan kebudayaan bermula dari gempa dan tsunami di Palu yang disinyalir terjadi karena Festival Nomoni.
Di dalam kegiatan tahunan pada perayaan ulang tahun Kota Palu itu, para tetua adat membaca mantra-mantra tua dan kembali menghidupkan tradisi lama: memberi sesaji pada semesta, ini merupakan salah satu prilaku syirik yang sangan dibenci Allah. Naudzubillahimin dzalik.
Tersebab maksiat, kesyirikan dan hukum-hukum Allah yang selama kita campakkan, mudah bagi Allah untuk mengirimkan bencana semacam gempabumi dan sebagainya. Sebagaimana Allah berfirman: "Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30).
Melalui gempa, seolah bumi ingin berdakwah menyampaikan kepada manusia bahwa dirinya pun hanya sementara. Lantas masihkah kita ingin bermaksiat? [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Ria Agustina Mahasiswi Universitas Pakuan Bogor