Oleh: Ummu Nadhira*
Syariat Islam kembali (diduga) dilecehkan lewat lawakan. Entah apa yang ada dalam pikiran dua komika ini, Tretan Muslim (@tretanmuslim) dan Coki Pardede (@cokipardedereza), ketika daging babi dicampur dengan kurma.
Lalu salah satu dari mereka berkata "Jadi bagaimana ceritanya sari-sari Kurma masuk ke dalam pori-pori (daging babi) apakah cacing pitanya akan mualaf?"
Mentertawakan ajaran Islam, itu kesimpulan yang sulit dihindari ketika menyaksikan lawakan pendiri @majelislucuindonesia ini. Entah nanti mau ngeles gimana kita tunggu kelanjutannya. Tapi buat saya, tetap saja yang terasa nuansa “pelecehan”nya.
Menjadikan ajaran agama tertentu untuk jadi bahan lawakan bukan kasus yang baru. Awal tahun 2018, sempat juga menghebohkan masyarakat saat Joshua Suherman melakukan stand up comedy.
Ada kalimat yang diucapkan mantan penyanyi cilik ini yang diduga mengandung unsur pelecehan dan penghinaan agama (Islam). Videonya viral di akun media YouTube. Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) mengadukannya ke Bareskrim Mabes Polri. (tribunnews.com, 9/1/2018).
Tak hanya itu, kasus begini sebenarnya terus terjadi dan berulang. Seolah tak pernah jera. Komika yang tersandung kasus serupa tak hanya Joshua. Ada Ge Pamungkas, Uus (Rizy Firdaus) dan lain-lain. Walau pun tidak semua tersandung saat stand up comedy, seperti Ernest Prakasa yang menimbulkan kontoversi soal cuitannya di Twitter. Ocehannya soal pertemuan JK-Zakir Naik dianggap melampaui batas (5/2/2017). Ujung-ujungnya, tahu sendiri lah, tak ada yang merasakan sanksi yang tegas dari aparat. Beberapa minta maaf, dan masalah dianggap selesai. Duh!
Menjadikan ajaran agama tertentu untuk jadi bahan lawakan bukan kasus yang baru. Awal tahun 2018, sempat juga menghebohkan masyarakat saat Joshua Suherman melakukan stand up comedy. Ada kalimat yang diucapkan mantan penyanyi cilik ini yang diduga mengandung unsur pelecehan dan penghinaan agama (Islam).
Videonya viral di akun media YouTube. Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) mengadukannya ke Bareskrim Mabes Polri (tribunnews.com, 9/1/2018). Ujung-ujungnya, tahu sendiri lah ....Cukup minta maaf pakai materai 6000. Pola seperti ini terus berulang di panggung lawakan.
Tak hanya itu, kasus pelecehan terhadap simbol Islam pun marak di masyarakat. Yang terbaru dan viral, beredar di linimasa sosial media sebuah video pembakaran bendera tauhid oleh oknum dari salah satu sayap ormas di Indonesia. Kejadian berlangsung pada peringatan Hari Santri 22 Oktober lalu di Garut. (Eramuslim.com, 22/10/2018). Kok bisa, di negri mayoritas muslim ini terjadi ? Mengapa mereka begitu berani?
Lawakan dan Pelecehan
Para pelawak di dunia entertainment biasa membuat cerita-cerita bohong agar para penonton tertawa. Kritikan ataupun sindiran terhadap pihak-pihak tertentu biasa dilontarkan lewat materi-materi yang mereka sampaikan. Bahkan tak jarang jika sindiran tersebut sering berlebihan dan menyentuh nilai-nilai aqidah.
Di Barat, menurut Ustadz Felix, Black Comedy atau komedi yang nyerempet dan ngejek ajaran agama biasa dilakukan. “ Bagi para komedian kebanyakan, adalah absurd untuk percaya pada agama, bahkan bodoh. Mereka banyak mendewa-dewakan sains dan kemanusiaan. Saya tak heran, kebanyakan stand-up comedian di Indonesia memiliki paham yang sama, kiblatnya sama, “ kata ustadz keturunan Cina tersebut.
Dalam Islam, mengarang cerita bohong agar penonton tertawa jelas tidak diperbolehkan. Bahkan Rasulullah berulangkali mengingatkan bahwa perilaku tersebut dapat mengundang petaka bagi pelakunya. Beliau bersabda : “Celakalah orang yang berbicara kemudian dia berdusta agar suatu kaum tertawa karenanya. Kecelakaan untuknya. Kecelakaan untuknya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi )
Dalam hadis lain : “Sungguh ada orang yang mengucapkan suatu kata-kata agar teman-temannya tertawa namun kata-kata tersebut menyebabkan dia terjerumus (ke dalam neraka) lebih jauh dibandingkan dengan jarak ke bintang kejora,” (HR. Ahmad)
Dalil di atas erat kaitannya dengan lawakan yang mengandung unsur kebohongan. Lalu bagaimana jika lawakan atau aktifitas yang dimaksud mengandung unsur pelecehan terhadap Islam?
Lawakan atau perilaku yang melecehkan nilai-nilai dalam syariat Islam jelas menimbulkan hukum yang lebih berat. Bahkan para ulama sepakat menghukumi kafir pelakunya, baik dilakukan secara sengaja ataupun tidak.
Istihza’ atau mencela agama, merupakan tindakan yang sangat berlawanan dengan prinsip keimanan. Para ulama sepakat bahwa pelakunya menjadi kafir, keluar dari agama Islam, dan hukumannya adalah dibunuh. Allah Ta’ala berfirman :
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab;” sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok? Tidak usah kalian meminta maa, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. “ (TQS. At Taubah : 65-66).
Ketegasan menuntaskan kasus pelecehan agama telah nampak dalam berbagai keputusan Rasulullah. Padahal semua tahu, ketika bermuamalah dengan manusia beliau terkenal sosok yang paling pemaaf. Berbeda ketika ajaran Islam dilecehkan, Sifat Beliau berubah menjadi sangat marah. Bahkan hampir semua orang yang melecehkan Islam, diputuskan dibunuh.
Dalam sebuah riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, “Siapa yang bersedia membereskan Ka’ab bin Asyraf? Dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya!” Maka berdirilah Muhamamd bin Maslamah dan berkata, “Apakah engkau suka bila aku membunuhnya, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Ya”.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra., “ Bahwasannya ada seorang laki-laki buta yang mempunyai ummu walad (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya) yang biasa mencaci Nabi Saw dan merendahkannya. Laki-laki tersebut telah mencegahnya, namun ia (ummu walad) tidak mau berhenti. Laki-laki itu juga telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau.
Hingga pada satu malam, ummu walad itu kembali mencaci dan merendahkan Nabi Saw. Laki-laki itu lalu mengambil pedang dan meletakkan di perut budaknya, dan kemudian ia menekannya hingga membunuhnya. Akibatnya, keluarlah dua orang janin dari antara kedua kakinya. Darahnya menodai tempat tidurnya.
Di pagi harinya, peristiwa itu disebutkan kepada Rasulullah Saw. Beliau mengumpulkan orang-orang dan bersabda: “Aku bersumpah dengan nama Allah, agar laki-laki yang melakukan perbuatan itu berdiri sekarang juga di hadapanku”. Lalu, laki-laki buta itu berdiri dan berjalan melewati orang-orang dengan gemetar hingga kemudian duduk di hadapan Nabi. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, akulah pembunuhnya. Wanita itu biasa mencaci dan merendahkanmu.
Aku sudah mencegahnya, namun ia tidak mau berhenti. Dan aku pun telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Aku mempunyai anak darinya yang sangat cantik laksana dua buah mutiara. Wanita itu adalah teman hidupku. Namun kemarin, ia kembali mencaci dan merendahkanmu. Kemudian aku pun mengambil pedang lalu aku letakkan di perutnya dan aku tekan hingga aku membunuhnya”. Nabi Saw. bersabda: “Saksikanlah bahwa darah wanita itu sia-sia.” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud , An- Nasaa’iy , dan yang lainnya, shahih).
Makna darahnya sia-sia adalah, tak boleh ada balasan atas pembunuhnya dan tak boleh dikenakan diyat (tebusan darah). Jadi darahnya halal alias boleh dibunuh.
Demikian juga sikap para sahabat pasca wafatnya Rasulullah saw. Dalam menyikapi kasus penghinaan terhadap Islam, mereka tidak berbeda dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan dari Mujahid bin Jabr berkata:
“Seorang laki-laki yang mencaci maki Nabi dihadapkan kepada khalifah Umar bin Khathab, maka khalifah membunuhnya. Khalifah Umar berkata: “Barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki salah seorang nabi-Nya, maka bunuhlah dia!” (Ibnu Taimiyah, Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul).
Jadi, para ulama tidak ada ikhtilaf (berbeda pendapat) bahwa orang yang mencaci maki Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (atau melecehkan ajaran Islam yang lain), jika dia seorang muslim maka ia wajib dihukum mati. Karena dia dihukumi murtad bahkan para ulama sepakat bahwa orang tersebut tetap dihukumi kafir meskipun dia dalam keadaan jahil.
Perbedaan pendapat terjadi ketika orang yang mencaci maki adalah orang kafir dzimmi. Imam Syafi’i berpendapat ia harus dihukum bunuh dan ikatan dzimmahnya telah batal. Imam Abu Hanifah berpendapat ia tidak dihukum mati, sebab dosa kesyirikan yang mereka lakukan masih lebih besar dari dosa mencaci maki. Imam Malik berpendapat jika orang yang mencaci maki Nabi Saw. adalah orang Yahudi atau Nasrani, maka ia wajib dihukum mati, kecuali jika ia masuk Islam. Demikian penjelasan dari imam Al-Mundziri. (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 12/11).
Subur Karena Sistem Rusak
Sistem Demokrasi yang mengagungkan kebebasan, telah menyuburkan sikap seenaknya dan mengabaikan norma –norma yang ada. Berpikir, berbicara dan berbuat adalah hak, sehingga tak boleh dilarang dan diatur-atur. Atas nama HAM, banyak pengusung ide Liberal dan mengaku paling Demokratis secara sengaja menyerang ajaran Islam. Walau pun kadang KTP mereka muslim. Bahkan mereka hidup di negri mayoritas berpenduduk muslim. Why?
Tanpa institusi, umat Islam dan ajaran Islam selalu jadi sasaran ejekan dan penghinaan. Berbeda ketika Khilafah masih tegak, ketika Perancis pernah merancang pertunjukkan drama yang diambil dari hasil karya Voltaire. Isinya bertema “Muhammad atau Kefanatikan?.“
Di samping mencaci Nabi Saw., drama tersebut menghina Zaid dan Zainab. Ketika Sultan Abdul Hamid, Khalifah dari Kekhilafahan Utsmani saat itu, mengetahui berita tersebut, melalui dutanya di Prancis, beliau segera mengancam Pemerintah Prancis supaya menghentikan pementasan drama tersebut. Beliau mengingatkan bahwa ada “tindakan politik” yang akan dihadapi Prancis jika tetap meneruskan dan mengizinkan pementasan tersebut. Prancis akhirnya membatalkannya.
Tidak berhenti sampai di situ. Perkumpulan teater tersebut lalu berangkat ke Inggris. Mereka merencanakan untuk menyelenggarakan pementasan drama itu di Inggris. Mengetahui itu, Khalifah Abdul Hamid pun mengancam Inggris. Inggris menolak ancaman tersebut. Alasannya, tiket sudah terjual habis dan pembatalan drama tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan (freedom) rakyatnya.
Setelah mendengar sikap Inggris demikian, sang Khalifah menyampaikan, “Kalau begitu, saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasul kita! Saya akan mengobarkan jihad akbar!” Pemerintah Inggris pun ketakutan melihat keseriusan ancaman sang Khalifah. Mereka segera melupakan sesumbarnya tentang kebebasan. Pementasan drama itu pun akhirnya mereka batalkan juga (Majalah al-Wa‘ie, No. 31, 2003).
Jelas, hakikat drama di atas sama dengan berbagai penghinaan terhadap Islam dan umatnya saat ini. Karena itu, semestinya sikap para aparat dan penguasa Muslim tegas merespon berbagai pelecehan dan penghinaan apapun bentuknya- apapun kemasannya- termasuk komedi.
Seberapa pun total pengikut, subsciber dan follower-nya. Sayang, karena sistem Demokrasi –Liberal telah membelenggu tangan dan kaki para penguasa. Sehingga masih terlihat tenang-tenang saja. Astaghfirullah. [syahid/voa-islam.com]
*Penulis Pegiat Dakwah di Sekolah Bunda Sholihah, Malang.