Oleh: Aishaa Rahma
Sontoloyo, menjadi ramai di headline berita, sebenarnya bukan kata yang asing di dengar bagi orang Indonesia. Namun berbeda jika kata tersebut dilontarkan oleh orang nomer satu di negeri ini, di depan khalayak ramai.
Dilansir dari Jakarta.Kompas.com Presiden Jokowi menyatakan "Hati-hati, banyak politikus yang baik-baik, tapi juga banyak politikus yang sontoloyo."
Heboh atas pernyataan tersebut diungkapkan oleh Presiden Jokowi saat menghadiri pembagian 5000 sertifikat tanah di Kebayoraan Lama, Jakarta, Selasa (23/20/2018). Presiden Jokowi merasa kesal lantaran program baru pemerintah dengan jumlah anggaran Rp 3 triliun tersebut mendapat berbagai kritik dan dipermasalahkan oleh sejumlah politisi kubu oposisi.
"Kemarin saya kelepasan, saya sampaikan politikus sontoloyo. Ya itu, jengkel saya. Saya enggak pernah pakai kata-kata seperti itu. Karena sudah jengkel, ya keluar. Saya biasanya ngerem tapi sudah jengkel ya bagaimana," kata Jokowi kepada wartawan di Istana Negara, Rabu (24/10/2018).
Tentu saja pernyataan tersebut mengundang reaksi dari berbagai pihak, termasuk para politisi. Sebut saja Wakil ketua DPR Fadli Zon, beliau mengatakan, penggunaan kata "sontoloyo" ini tak pantas dilontarkan oleh Kepala Negara.
Menurutnya, istilah kata tersebut agak kasar, terlebih sebutan sontoloyo diarahkan bagi para politisi yang mengkritik program dana kelurahan. Wakil ketua Umum Partai Gerindra ini pun menilai, harusnya kritik terkait program pemerintah cukup dijawab dengan penjelasan yang komprehensif oleh presiden. (KompasJOKOW
Jika menilik dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sontoloyo bermakna konyol, tidak beres, bodoh (dipakai sebagai kata makian). Maka apabila kata tersebut justru terlontar dari orang nomer satu ini, pasti mengundang kontroversi. Meskipun dalam kancah politik penggunaan kata sontoloyo ini pernah digunakan pula oleh Presiden Sukarno sebagai judul artikel yang ditulisnya di Pandji Islam pada tahun 1940.( Tirto.id.)
Sontoloyo juga sempat diucapkan oleh Amien Rais-salah Satu tokoh politik- yang pada bulan Mei tahun ini menyoal "pemimpin sontoloyo." Amien Rais, melontarkan kata 'sontoloyo' seusai pengajian di alun-alun Banjarnegara. Menurut petinggi Partai Amanat Nasional ini, pemimpin yang tidak memikirkan rakyat tetapi menjadi agen kekuatan asing adalah pemimpin sontoloyo.
"Bung Karno dulu mengatakan kalau ada pemimpin yang tidak memikirkan rakyatnya malah menjadi agen kekuatan tenaga asing itu pemimpin sontoloyo. Jadi kan yang sontoloyo itu siapa," kata Amien kepada wartawan, Minggu. (detik.news.com, 6/5/2018).
Sontak para politikus di kubu koalisi pemerintah mengecam pernyataan Amien. Ketika kemarin Jokowi menyebut kata 'politikus sontoloyo', apakah maknanya sama seperti yang pernah diungkapkan Amien Rais? Entahlah, sebab tidak ada kawan dan lawan sejati dalam politik yang diusung demokrasi, semua bekerja atas target sesuai kepentingan pemilik modal.
Kegegabahan lisan yang telah diucapkan Presiden Jokowi tersebut, sukses membuat gaduh Indonesia. Bahkan menjadi lahan santapan kritik -tidak hanya- di panggung politik namun juga viral di kalangan netizen millennial yang melek berita.
"Tidak pantas seorang Kepala Negara ngomong sontoloyo begitu, Presiden harus jadi panutan, nanti ada warga yang kritik lurah, masyarakat bisa dibilang sontoloyo juga," ungkap Faldo Maldini wasekjen PAN.
Demikian pula kritik dari Dahnil Anzar Simanjuntak, selaku juru bicara BPN Prabowo-Sandi. Dahnil mengungkapkan, keceplosan Jokowi tersebut dianggap sebagai bentuk kontrol diri yang lemah.
"Sangat tidak pantas, saya pikir. Kenapa? karena yang namanya Presiden itu adalah pemimpin tertinggi, dia harusnya politisi yang jadi contoh, bukan cuma untuk politisi lho, seluruh anak negeri, Jadi justru menunjukkan bagi saya, kalau pak Jokowi nyebut beliau nggak bisa nahan lagi, menunjukkan secara psikologis memang beliau berhadapan dengan masalah kontrol diri yang lemah, jadi kalau misalnya pernyataan, beliau menyampaikan, oh saya nggak bisa nahan lagi, menggunakan kata-kata itu, saya pikir justru sebagai pemimpin, beliau harus punya kemampuan kontrol diksi," tuturnya.(detik.news.com, 24/10/2108).
Berpikir sebelum Bertindak (Bicara)
Diksi adalah pilihan kata. Maksudnya, kita harus memilih kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu. Pilihan kata merupakan satu unsur sangat penting, baik dalam dunia literatur maupun dalam dunia tutur setiap hari. Dalam memilih kata yang setepat-tepatnya untuk menyatakan suatu maksud, kita tidak dapat lari dari kamus. Kamus memberikan suatu ketepatan kepada kita tentang pemakaian kata-kata.
Dalam hal ini, makna kata yang tepatlah yang diperlukan. Kata yang tepat dapat membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Selain itu, pemilihan kata itu juga harus sesuai dengan situasi dan tempat penggunaannya.
Maka sangat wajar jika frasa sontoloyo menuai kritik dari berbagai kalangan, Sebab diksi menjadi kunci bagaimana nilai atau kualitas pengucapnya. Selain itu, sudah selayaknya lisan siapapun harus dijaga, terlebih penguasa yang tiap detail ucapannya sarat dimuat media dan diserap oleh masyarakatnya. Sehingga perlu kehati-hatian mengingat lisan memiliki kekuatan menggerakkan namun juga mampu menghancurkan.
Rasulullah Saw bersabda, “ Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau diam.” (Muttafaq “alaih, dari Abu Hurairah).
Beliau juga pernah bersabda, “Tiada akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. dan seorang hamba tidak akan memasuki syurga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya.” (Al hadits).
Jadi hendaklah seorang muslim –siapa pun dia- berpikir dulu sebelum bertindak, termasuk ketika menggerakkan lidahnya. Karena dia sadar semua akan diminta tanggung jawab di hadapan Allah.
Apalagi jika dia adalah pemimpin, dampak kegegabahannya akan lebih besar dan luas. Masih ingat kasus ucapan salah satu petinggi negara tentang bolehnya mengambil (menjarah) barang kebutuhan bagi para korban tsunami di Palu dan sekitarnya, yang kemudian diralat oleh yang bersangkutan.
Tapi apa mau dikata, nasi sudah jadi kerak, terlanjur sudah terjadi penjarahan yang menimbulkan kerugian besar. Apindo mencatat nilai kerugian sekitar 450 milyar yang dialami oleh gerai toko modern di Palu dan Donggala. (portal-islam.id, 2/10/2018). Belum lagi penjarahan SPBU dan sebagainya. Negara mau bayar?
Maka, jadi orang biasa saja harus jaga lisan. Apalah lagi kalau dia adalah seorang pemimpin. Berbeda jauh dengan kondisi pada era khilafah Islam eksis. Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Abdil Aziz dalam shalat tahajudnya sering membaca ayat berikut:
(Kepada para malaikat diperintahkan), “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembah-sembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah. Lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Tahanlah mereka di tempat perhentian karena sesungguhnya mereka akan dimintai pertanggungjawaban.” (TQS ash-Shaffat [37]: 22-24).
Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali karena merenungi besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat bila melakukan kezaliman. Tentu beliau akan menjaga seluruh perbuatannya, termasuk lisan. Agar tidak membahayakan rakyatnya. Tentu dengan dasar ketakwaannya sebagai hamba Allah.
Sayang dalam sistem yang mendewakan Demokrasi dan kebebasan berprilaku seperti saat ini, kita banyak menyaksikan amal-amal pemimpin yang tak sesuai dengan aturan syariat. Termasuk ketika, seorang pemimpin di hadapan kita dengan santainya bilang tak bisa “mengontrol“ perkataannya.
Apakah bisa dia pegang amanah yang lebih berat daripada menjaga lisannya? Apalagi masih mau dua periode? Duh. Silakan dijawab bagi orang yang mau berpikir. [syahid/voa-islam.com]