Oleh: Oktavia Nurul Hikmah, S.E. (Anggota Revowriter Gresik)
Mungkin ia hanya secarik kain hitam, yang dijahit berkeliling dan ditorehkan tinta putih. Tapi torehan yang tertulis, itulah yang terpenting. Ialah lafadz syahadat yang dibaca dalam setiap shalat.
Lafadz yang setiap mukmin berharap dapat mengucapkannya di penghujung hayat. Mengharap umat tak murka saat lafadz mulia itu dibakar dengan sengaja adalah kebodohan besar.
Berbagai argumen pembenar dilontarkan. Kepolisian menyebut tidak ada niat jahat dari si pembakar, semata-mata respon spontan karena mengira itu adalah bendera dari ormas terlarang.
"Tindakan pembakaran tadi dilakukan oleh subyek tanpa adanya niat apapun kecuali yang ia tahu ini bendera HTI," kata Umar, Direktur Reskrimum Polda Jawa Barat Kombes Umar Surya Fana saat dikonfirmasi, Jakarta, Kamis (liputan6.com, 25/10).
Kepolisian menilai tidak ada unsur pidana di dalam tindakan pembakaran tersebut. Karena sebab itu, dibebaskanlah pelakunya.
Sementara itu, pembawa bendera dan pengunggah video justru menjadi buruan kepolisian. Diduga sengaja membuat kegaduhan dan menimbulkan provokasi yang menyebabkan peristiwa pembakaran.
Logika yang dibangun, jika tidak ada yang membawa bendera tauhid tersebut, oknum Banser tidak akan terprovokasi sehingga melakukan pembakaran. Begitupun, jika tidak ada yang mengunggah video peristiwa tersebut ke media sosial, tidak akan timbul kegaduhan di tengah masyarakat. Sungguh logika sesat yang mencengangkan akal sehat.
Berikutnya, HTI menjadi sasaran tembak. Oknum pembakar mengira jika bendera tauhid tersebut adalah bendera HTI. Menurutnya, HTI adalah ormas terlarang, sehingga sah membakar bendera tersebut. Jubir Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto telah menyampaikan dalam berbagai kesempatan bahwa HTI tidak memiliki bendera. Bendera yang kerap dikampanyekan dalam berbagai agenda HTI adalah Liwa dan Rayah, bendera dan panji Rasulullah SAW.
Ibn ‘Abbas berkata, “Rayah Rasulullah saw. itu berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih.” (HR at-Tirmidizi).
Artinya, bendera tersebut adalah milik umat Islam secara keseluruhan. Atas penjelasan ini, Ismail justru dilaporkan oleh Forum Umat Islam Revolusioner dengan tuduhan menyebarkan berita bohong (tribunnews.com, 26/10).
Penyikapan berlebihan terhadap HTI dan berbagai simbol yang diduga milik ormas tersebut merupakan sesuatu yang mengherankan. Pertama, sekalipun badan hukum ormas HTI telah dicabut melalui PERPPU no.2 tahun 2017, tidak serta merta menjadikan HTI sebagai ormas terlarang.
Terdapat ribuan ormas yang tidak memiliki badan hukum dan itu merupakan hal biasa. Prosedur keormasan di negara ini menjadikan BHP (Badan Hukum Perkumpulan) hanyalah sebuah pilihan, bukan kewajiban. Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menyatakan tidak ada satu pun keputusan hukum yang menyebutkan HTI ormas terlarang (cnnindonesia.com, 29/10).
Kedua, aktivitas HTI adalah aktivitas dakwah menyerukan penerapan Islam dalam kehidupan. Liwa dan rayah yang dikampanyekannya merupakan bendera umat Islam. Membenci HTI dan berbagai hal yang diserukannya sejatinya adalah kebencian terhadap Islam. Semakin mengherankan jika kebencian tersebut datang dari kalangan Islam sendiri.
Ketiga, HTI merupakan gerakan dakwah politik namun tidak melibatkan diri dalam politik praktis. Upaya mengaitkan HTI dengan pilpres merupakan upaya sia-sia.
Bagi mereka yang mengenal HTI, tentu amat paham jika Hizbut Tahrir senantiasa menyerukan keharaman demokrasi. Asas kedaulatan rakyat dinilai sebagai sesuatu yang bertentangan dengan syariat karena pemilik kedaulatan hakiki hanyalah Allah SWT. Sebaliknya, Hizbut Tahrir senantiasa menyerukan jalan perubahan sebagaimana metode dakwah Rasulullah SAW.
Dimulai dengan melakukan pembinaan, berinteraksi di tengah masyarakat dan menerapkan syariat kaffah dalam bingkai khilafah. Sejak awal berdiri, Hizbut Tahrir senantiasa menjaga konsistensi jalan perjuangannya.
Bendera berlafadz tauhid, tak sekedar kain tanpa makna. Ialah wujud persatuan umat. Setiap yang memiliki iman dalam jiwanya akan terpanggil untuk membela.
Hizbut Tahrir hanya berupaya mengingatkan umat, sang pemilik bendera tauhid yang sesungguhnya. Bendera berlafadz mulia, yang mengandung kesaksian taat seorang hamba pada Rabbnya. Peer besar berikutnya adalah mengejawantahkan kesaksian tersebut dalam keseharian. Mengikatkan diri dalam ketaatan dalam segenap aspek kehidupan. Kehidupan personal, kehidupan bermasyarakat, maupun kehidupan bernegara.
Semakin mesranya umat dengan bendera tauhid adalah kabar gembira bagi pecinta kebenaran. Sebaliknya, ia menjadi kabar buruk bagi ideologi kapitalisme yang menguasai dunia.
Pengemban ideologi kapitalisme memahami, penancapan pengaruh mereka di negeri-negeri Islam akan melemah ketika kesadaran umat untuk kembali pada Islam semakin menguat.
Berbagai aksi seperti Bela Islam terkait penista agama, ataupun Bela Tauhid dalam kasus pembakaran bendera merupakan tanda semakin kuatnya kesadaran umat untuk kembali pada jati dirinya sebagai seorang muslim.
Keistiqamahan para pengemban dakwah, akan mempercepat tuntutan umat untuk kembali kepada Islam secara kaffah. Dan sesungguhnya itulah akhir kehidupan bagi kapitalisme dan pengembannya.
Mari sambut fajar kemenangan Islam yang kian dekat. Meskipun gelap semakin dekat menjelang fajar. Artinya, tantangan dan fitnah akan semakin banyak berhamburan.
Maka, cukup Allah menjadi penolong dan syariat menjadi penuntun. Tetap konsisten di jalan perjuangan yang diteladankan Rasulullah, in sya Allah kebangkitan umat takkan lama lagi. [syahid/voa-islam.com]