Oleh : Hasni Tagili, M. Pd*
Etnis minoritas Muslim Rohingyatak kunjung membaik keadaannya di Myanmar. Konflik sosial terus berlangsung. Padahal, kondisi ini sudah bergulir bertahun-tahun lamanya. Tak terhitung, puluhan ribu muslim Rohingya menjadi korban kebengisan rezim.
Genosida Lagi
Dilansir dari voa-islam.com, 25/10/2018,peristiwa genosida masih berlangsung terhadap muslim Rohingya Myanmar. Sebuah tim pencari fakta PBB mengatakannya, Rabu (24/10/2018), ketika mereka mempresentasikan sebuah laporan di Dewan Keamanan menyerukan agar masalah ini dirujuk ke Pengadilan Pidana Internasional.
Marzuki Darusman, ketua Misi Pencari Fakta PBB di Myanmar, mengatakan pada konferensi pers bahwa di luar pembunuhan massal, konflik termasuk pengucilan dari populasi yang ditargetkan, pencegahan kelahiran, dan perpindahan luas di kamp-kamp, ”Ini adalah genosida yang sedang berlangsung,” kata Darusman.
Laporan 444 halaman misi pencarian fakta itu pertama kali dipublikasikan bulan lalu. Ia menyerukan kepada dewan untuk merujuk situasi Myanmar ke Pengadilan Pidana Internasional di Den Haag, atau untuk menciptakan pengadilan kriminal internasional ad hoc, seperti yang dilakukan dengan bekas Yugoslavia.
Di lain pihak, pemerintah Myanmar sendiri menolak temuan misi PBB itu. Bahkan, Panglima militer Myanmar, Min Aung Hlaing, memperingatkan campur tangan asing termasuk pemimpin dunia di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang menyeret-nyeret dirinya untuk bertanggung jawab atas kekerasan terhadap etnis Rohingya tahun lalu (Tribunnews.com, 25/09/2018).
Dalam komentarnya terhadap laporan misi pencarian fakta PBB bulan ini, Min Aung Hlaing mengatakan Myanmar punya kedaulatan sendiri atas semua kebijakannya.Untuk itu PBB tidak perlu untuk ikut campur dalam urusan internal negara agar tidak menyebabkan kesalahpahaman.
Ya, sejauh ini, militer Myanmar memang selalu membantah telah melakukan kejahatan. Mereka bersikukuh bahwa operasi militer yang dilakukan adalah untuk membasmi pemberontakan Rohingya. Padahal, tanda-tanda genosida jelas terlihat, walaupun pemerintah Myanmar kerap kali membantahnya.
Tahapan Genosida
Menurut situs berita PBB, UN Dispatch, Myanmar telah memenuhi delapantahapan genosida yang ditetapkan Genocide Watch.Di antara delapan langkah genosida tersebut meliputi, pertama klasifikasi dan kedua simbolisasi. Menurut Genocide Watch, klasifikasi dan simbolisasi adalah langkah awal genosida yaitu membedakan antara “kita dan mereka”, mempromosikan perbedaan, bukannya persamaan.
Ketiga, dehumanisasi. Dehumanisasi adalah meniadakan sifat kemanusiaan terhadap sebuah golongan. Mereka dianggap hama, penyakit, yang harus dipinggirkan.Keempat, terorganisir. Genosida selalu dilakukan secara terorganisir, biasanya digawangi oleh pemerintah. Dalam beberapa kasus, pemerintah menggunakan militan untuk membersihkan etnis agar lepas dari tanggung jawab.
Kelima, polarisasi. Polarisasi adalah pemisahan yang ekstrem antara sebuah kelompok dengan kelompok lainnya. Propaganda pemisahan ini didengungkan dengan nyaring, berupa pelarangan menikah dengan mereka atau bahkan berinteraksi.
Keenam, persiapan. Dalam langkah persiapan, calon korban genosida diidentifikasi dan dipisahkan berdasarkan etnis atau agama mereka. Daftar orang-orang yang akan mati dibuat. Menurut Genocide Watch, dalam langkah ini, mereka dikumpulkan di tempat kumuh, kamp konsentrasi, atau di wilayah miskin sumber daya agar mati kelaparan.
Ketujuh, pemusnahan. Di tahap pemusnahan, genosida dilakukan. Genocide Watch menggunakan kata “pemusnahan” karena bagi pelaku genosida mereka tidak sedang membantai atau membunuh, tapi memusnahkan hama karena korban dianggap bukan manusia.
Kedelapan, penyangkalan. Genocide Watch mengatakan bahwa pelaku genosida menggali kuburan massal, membakar mayat-mayat, coba menutupi bukti dan mengintimidasi saksi mata. Mereka membantah telah melakukan kejahatan, malah menyalahkan para korban(Kumparan.com, 4/09/2018).
Mengurai Kisruh
Sejatinya, dibalik tragedi Rohingya ini, terbukti adanya upaya genosida etnis yang kental dengan motif politis dan agama. Sayangnya, semua itu ditutup rapat-rapat dengan dalih takut menjadi provokasi. Kemudian, diserulah dengan lantang oleh media bahwa ini konflik kemanusiaan.
Tokoh-tokoh politik pun serentak mengatakan bahwa tragedi Rohingya bukan tragedi agama. Sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid. Ia mengatakan, “Sebaiknya masyarakat tidak terjebak dalam melihat isu kekerasan terhadap warga Rohingya sebagai konflik antara Islam dan Buddha.” Hal tersebut, menurut Yenny, justru akan menimbulkan polemik di dalam negeri (Kompas.com, 06/09/2017).
Genosida ini praktis terus terulang. Pemimpin di negeri- negeri Muslim dan dunia menutup mata, tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya mengecam dan mengutuk tanpa ada tindakan nyata untuk menghentikan dan menghukum pelakunya.
Wajar, jangankan penguasa Muslim, PBB lewat Lembaga Mahkamah Pidana International (ICC) pun tidak berdaya. Direktur Amnesty International, Usman Hamid mengatakan, “Kecil kemungkinan untuk membawa ke ICC, sebab Myanmar bukan anggota ICC.” (Cnnindonesia.com, 15/09/2017).
Maka, berharap keadilan pada ICC untuk menghukum pelaku genosida terhadap kaum Muslim Rohingya terwujud, ibarat mimpi di siang bolong.
Solusi Fundamental
Permasalahan utama, terus terulangnya genosida pada kaum Muslim karena ketiadaan Daulah Islam. Hal ini membuat hukum-hukum Allah tidak bisa ditegakkan secara kaffah (menyeluruh). Padahal tugas dan kewajiban daulah Islam adalah menerapkan syariat Islam.
Tugas memerangi orang-orang yang menentang Islam dan melindungi perbatasan kaum Muslim, agar tidak ada celah bagi musuh untuk merusak kehormatan dan menumpahkan darah kaum Muslim. Adalah salah satu dari sepuluh tugas yang harus dilakukan oleh seorang khalifah (Al-Mawardi, Al-ahkan As-sultoniyah, hlm. 23).
Rasulullah telah mengingatkan akan pentingnya menjaga jiwa manusia. Dalam hadis Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Sesungguhnya kehancuran dunia ini tidak ada artinya bagi Allah dibandingkan dengan mati seorang muslim.” (HR.Tirmidzi)
Sebagaimana Khalifah Al-mu’tashim yang menjawab panggilan seorang wanita yang dilecehkan kehormatannya oleh orang-orang Romawi. Beliau mengirim pasukan untuk menaklukan kota Ammuriah (Turki) demi menghukum pelakunya. Maka orang-orang kafir tidak berani melecehkan dan menumpahkan darah kaum Muslim karena ketegasan para khalifah dalam menjaga dan melindungi warga negaranya. Termasuk mengakhiri segala bentuk kezaliman dan genosida terhadap kaum muslim. Bukan hanya Rohingya, melainkan juga Palestina, Suriah, Irak dan lain-lain.Wallahua’lambisshawab. (rf/voa-islam.com)
Penulis adalah Praktisi Pendidikan Konawe
Ilustrasi: Google