Oleh: M Rizal Fadillah
Bagi umat Islam sesuatu yang menimpa dan tidak disukai akan diterima sebagai mushibah. Ujian keimanan. Seleksi diri mana emas mana loyang. Mana yang berkualitas mana yang mudah digoyang dan gamang.
Yusril yang biasa menangani kasus kini jadi 'kasus'. Terlepas motif dan target berefek baik atau buruk, namun umat banyak yang mengurut dada. Ada rasa sesak. Di tengah hukum yang sedang menjadi mainan politik, pejuang hukum pun tak luput dari tarikan magnet 'petugas' politik. Kata pepatah tak ada makan siang gratis. Apalagi itu ruang profesi (katanya).
Langkah belum final, tapi proses sulit mengelak dari fakta yang terungkap. Betapa bahagianya sang pendahulu Ngabalin menyambut dengan 'ahlan wa sahlan'. Petinggi partai menyambut dan berani 'menginstruksikan' untuk mencabut status kuasa hukum HTI. Dan bola terus menggelinding.
Jika alasan pindah tempat ini adalah kalkulasi bahwa Joko-Ma'ruf bakal menang, maka celakalah itu. Berarti politik kelelawar sedang dijalankan.
Kelelawar yang berada di tengah perseteruan binatang buas dengan kelompok burung. Ketika binatang buas sedang menang, kelelawar berpihak pada binatang buas dengan mengidentifikasi diri sama-sama bertaring moncong dan berkuku tajam.
Ketika pemenang adalah burung, maka kelelawar segera pro burung, "lihat saya bersayap dan berkaki dua..!" ujarnya. Nah ketika binatang buas dan burung berdamai, dinistalah ia oleh keduanya. Sang kelelawar malu dan menyendiri. Menutup wajah, dan keluar hanya pada malam hari.
Kita yakin Yusril tidak begitu. Tapi para politisi kelelawar tengah berkeliaran di rimba kekuasaan. Melihat-lihat dan meloncat-loncat. Menjual ideologi demi kursi. Martabat diri bisa dibeli-beli. Toh semua dapat menjadi komoditi pada era serba transaksi.
Indonesia diambang kehancuran, jika politik disterilkan dari moral dan kesucian. Perjuangan hanya menjadi slogan. Semua suka berenang di kolam lumpur.
Kalau begitu, tak beda dengan dunia prostitusi. Memburu nikmat lalu berbayar. Moga tidak begitu ini negeri kita sendiri yang dijaga bersama dengan budaya malu dan risi. Kalau juga tetap begitu, memang rezim Jokowi harus segera diakhiri. [syahid/voa-islam.com]