Oleh: M. Rizal Fadillah
Bila menyebut negara ini komunis tentu tidak benar, sebab harus ada bukti yang terlihat dan terdeklarasi. Lagi pula ideologi negara sangat melarang. Tapi kalau bau ya hanya tercium saja. Tidak terlihat atau teraba.
Itu pun kalau kita sedang sehat, kalau sedang sakit, pilek misalnta, bau apapun tak tercium. Namanya juga sakit. Apalagi jika orang itu gila, semuanya menjadi tak peduli. Baik jadi buruk, sedih pun tertawa. Dinasehati malah mengejar atau meludahi karena disangka si gila dicaci maki atau dimarahi. Maklum disorientasi.
Ada kader politik yang terang terangan mengaku bangga sebagai anak PKI. Beberapa kader berjuang mati matian untuk menghapus aturan larangan menyebar komunisme. Parktai bekerjasama dan kadernya dididik oleh Partai Komunis Cina di Beijing.
Partai bersimbol sosialis siap melawan aturan yang didasarkan agama, beberapa baliho mengepalkan tangan kiri. Sinyal ia beraliran kiri. Mereka dipelihara. Pengusaha besar cina digotong aparat kesatuan dengan penuh hormat, ia memang menjadi anggota dewan kehormatan. Pengkritik bahwa kekuasaan bersentuhan dengan PKI dipenjara. Gambar palu arit banyak dipakai di kaos kaos. Kata bapak Menteri itu hanya mode.
Pekerja dari negeri Cina datang membanjiri tanpa skill memadai. Sebagian berbadan tegap bagai tentara. Perumahan reklamasi mengisi ruang advertensi di negeri si enci. Berhektar lahan bumi pertiwi dikuasai naga-naga. Merambah ke desa desa. Pintu asing untuk aseng dibuka lebar, bahasa patriotiknya investasi. Hakekatnya koloni.
Kebijakan gila dan nekad ditampilkan dengan berani untuk 54 industri, ukm dan koperasi yang dipersilahkan dianeksasi. Peta jalan untuk jalur sutera nampak difasilitasi. Karpet merah untuk 'yang mulia' imperium Komunis Cina. Poros Jakarta-Bejing dibuat dengan alasan perimbangan Amerika. Publik tahu itu dalih yang dibuat buat.
Pejabat Negara berteriak tak mungkin Indonesia disusupi komunis, kelompok agama masih menjadi mitra. Lupa dulu sebelum pemberontakan G 30 S PKI, kelompok agama pun dirangkul, namanya Nasakom. Ulama diperalat dan diperlukan bagi stempel legalitas kebijakan poros. Tak ada Indonesia tanpa Cina, katanya. Politik belah bambu digunakan untuk umat beragama.
Konon revolusi mental lebih penting. Lupa pula bahwa revolusi mental adalah bahasa tokoh PKI Aidit. Kerja kerja kerja untuk membangun kekuatan kelas pekerja. Revolusi kebudayaan menghancurkan agama dan memenangkan budaya. Budaya sarwa materi. Oposisi satu demi satu dibeli. Dalihkan bahwa perjuangan membangun negeri itu harus profesional, artinya berbayar.
Ketika kritik tentang kran asing yang dibuka lebar untuk peluang kolonialisasi ekonomi (dan politik), seorang pejabat berpengaruh dengan emosi menyatakan, tak mungkin pemerintah menjual negara, itu dilakukan untuk kepentingan bangsa.
Jika benar, sayangnya itu tak benar, maka rakyat ucapkan banyak terimakasih. Hanya masalahnya rakyat sudah tidak percaya lagi pada kata dusta penguasa, dan berujar, "Anda sedang sakit, Jenderal.. "
Bau komunis memang terasa semakin menyengat. [syahid/voa-islam.com]