Oleh: Isna Yuli, S. Pd (Woman Movement Institute)
Seolah tak ada habisnya tendensius terhadap Islam, baik penganut dan pendakwah serta seluruh perkembangannya. Ditengah maraknya gerakan hijrah, serta label syar’i yang terus membumi seolah tak dapat dibendung lagi, pemerintah justru terlihat melawan arus kebangkitan Islam tersebut.
Alih alih memberikan apresiasi dan dukungan, rezim dengan ciri sekuler ini justru memperlihatkan perlawanannya terhadap gerakan masif kebangkitan Islam.
Seperti yang sedang hangat dibicarakan, Juru Bicara Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto mengungkapkan, temuan soal 41 masjid di lingkungan pemerintah yang terpapar radikalisme didapat dari hasil survei oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Nahdlatul Ulama. (Kompas.com).
Pernyataan tersebut memperlihatkan kembali bahwa rezim saat ini tengah menaruh banyak kecurigaan terhadap Islam dan kaum muslim. Pernyataan tersebut juga membuka tabir bahwasannya rezim yang berkuasa tengah dan akan terus mengintai setiap gerakan kaum muslim.
Sebagai masyarakat awam, penulis merasa ada sesuatu yang tak biasa dengan pemerintah saat ini. Pada umumnya jika sebuah Negara memiliki sebuah Badan Intelejen Negara (BIN), maka segala informasi yang diperoleh adalah rahasia Negara. Tidak untuk dikonsumsi publik. Hanya kalangan pemerintah pusat dan keamanan Negara yang menerima serta mengolah data. Tetapi saat ini yang terjadi mengapa data dari BIN justru diumbar?
Diluar pernyataan BIN yang berpotensi membuat kegaduhan ditengah masyarakat, perlu kita cermati kembali duduk permasalahan sentiment keagamaan ini. Sejak munculnya kata-kata terorisme di tengah masyarakat, dengan itu pula banyak kata-kata baru yang diikutkan bersama kengerian yang disematkan pada setiap katanya.
Diantaranya adalah kata radikal, fundamental, garis keras dll. Tanpa dipahamkan makna sebenarnya, pemerintah melalui media menggiring pemahaman masyarakat untuk membenarkan bahwa mereka yang oleh pemerintah dikatakan teroris memiliki pemahaman yang radikal, fundamental dan berjalan di garis keras.
Pengulangan berbagai berita di media telah membentuk pola berpikir masyarakat, bahwa mereka yang radikal, fundamental dan sederet julukan ekstrim lain dicirikan dengan ciri-ciri fisik seperti muslim yang taat. Contoh, bagi kaum laki-laki adalah mereka suka bergamis, celana cingkrang, berjanggut. Sedangkan perempuannya bergamis lebar, berkerudung panjang, bahkan bercadar juga mereka sematkan sebagai identitas kaum radikal. Dan parahnya, banyak masyarakat yang percaya dengan pelabelan seperti ini.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikal /ra·di·kal/ bermakna secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) maju dalam berpikir atau bertindak. Jika yang kita fahami radikal adalah yang semacam ini, maka radikal adalah hal yang benar. Meskipun disematkan pada Islam, menjadi islam radikal, maka hal ini biasa saja. Justru akan menjadi baik. Karena muslim radikal adalah muslim yang memiliki pemikiran maju dan berpikir secara mendasar. Mendasar diartikan seluruh pemikirannya sesuai dengan dasar keislaman, dan keimanan.
Fakta yang berkembang saat ini adalah, adanya upaya menyudutkan dakwah Islam. Geliat dakwah menyeru kembali kepada Islam secara totalitas membuat pelaku kebijakan yang notabene tidak sesuai dengan Islam menjadi gerah.
Akan tetapi jika pemerintah langsung menuduh Islam tak sejalan dengan pemerintah adalah sebuah hal yang konyol. Oleh karenanya rezim saat ini menggiring dan mengarus utamakan opini bahwa segala bentuk dakwah Islam yang bertentangan dengan pemerintah adalah radikal. Tanpa ada penjelasan yang gamblang terkait definisi radikal oleh pemerintah.
Seperti halnya penggunaan kata terorisme, selama ini pemerintah dan media selalu mengatakan bahwa yang dinamakan teroris itu adalah seseorang atau kelompok yang menginginkan perubahan dengan cara kekerasan. Dan itu dilabelkan pada oknum-oknum yang melakukan bom bunuh diri, atau beberapa peledakan bom ikan disejumlah daerah.
Ditambah lagi pelaku yang langsung dieksekusi tanpa proses peradilan tersebut digambarkan sebagai muslim taat. Sedangkan aksi makar yang jelas merongrong keutuhan Negara sama sekali tidak pernah dilebeli dengan terorisme.
Berbagai gerakan separatis mulai dari Aceh hingga Papua tak pernah ada yang mengatakan bahwa mereka teroris, meskipun nyata bahwa mereka mengancam keamanan dan kenyamanan masyarakat, bahkan Negara. Dan faktanya mayoritas mereka yang ingin memisahkan diri dengan Negara adalah non muslim, bahkan mereka juga dipersejatai dengan senjata tajam.
Fakta ini menjadi satu ketimpangan yang menunjukkan bahwa tudingan teroris itu hanya disematkan pada kaum muslim. Begitu pula yang terjadi dengan tudingan radikal. Semua delalu dialamatkan kepada Islam.
Merebaknya pembahasan survey-survey yang menghasilkan data bahwa ada beberapa masjid BUMN terpapar radikal, berikut penceramah khutbahnya, hal ini tidak lain adalah upaya mencitrakan bahwa ajaran islam adalah radikal. Sekaligus menebarkan kebencian terhadap ajaran Islam. Selama Da’i, Penceramah atau ulama yang berkhutbah (berdakwah) menyampaikan ajaran Islam, apapun isi materi tersebut, selama sesuai dengan Al Qur’an dan as-Sunnah maka itu adalah ajaran Islam.
Ajaran Islam yang harus difahami masyarakat tidak hanya berkutat pada ibadah dan sedekah. Karena ajaran Islam itu mendasar dan menyeluruh, mendasar difahami mulai akar permasalahan, dan menyeluruh mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari ibadah, muamalah, ekonomi, sosial budaya hingga politik dan pemerintahan ada dalam ajaran Islam.
Tidak bisa pemerintah membatasi isi ceramah keagamaan hanya seputar ibadah saja. Justru pembahasan politik dalam Islam adalah perwujudan ketaqwaan yang dimensinya sangat luas. Dan politik Islam inilah yang akan menentukan corak kehidupan bermasyarakat. Karena politik tidak hanya diartikan sebagai meraih kekuasaan dan pembagian kursi. Sebab politik dalam Islam adalah ri’ayah suunil Ummah yaitu mengurusi seluruh urusan rakyat.
Melarang membicarakan Islam politik dalam khutbah dan ceramah merupakan bukti bahwa ada kekuatan besar yang ditakutkan oleh rezim yang ada, dan kekuatan yang besar ini bertumpu pada umat Islam.
]Oleh karena itu dengan kekuasaan yang dimiliki, rezim membuat berbagai pencitraan buruk terhadap Islam dan ajarannya. Sehingga nantinya pemerintah dengan leluasa menjadikan citra buruk tersebut sebagai patokan dalam membuat kebijakan. Wallahu a’lam bishowab. [syahid/voa-islam.com]