Oleh: Safari Hasan*
Beberapa hari ini debit air dari PDAM yang menjadi sumber pasokan kebutuhan rumah tangga kami menyusut. Pada jam-jam kritis seperti pagi dan sore hari, seringkali air tidak mengalir.
Kemarau panjang yang diperkirakan terjadi hingga akhir tahun diduga menjadi faktor penyebab masalah ini, sebagai warga masyarakat biasa tentu saya tidak bisa menuntut PDAM lebih lanjut.
Dunia terancam krisis air
Pada awal tahun 2018, Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menerbitkan laporan bertajuk "An Agenda for Water Action” yang memperingatkan bahwa dunia dalam bahaya krisis air global. Laporan tersebut enyatakan saat ini 40 persen populasi dunia mengalami kelangkaan air.
Laporan yang disusun berdasarkan penelitian selama dua tahun tersebut juga mengatakan 700 juta orang akan menderita akibat kelangkaan air parah pada 2030
Studi neraca air yang dilakukan Kementerian PU pada 1995 menunjukkan bahwa surplus air di Indonesia hanya terjadi pada musim hujan dengan durasi sekitar lima bulan. Sedangkan pada musim kemarau telah terjadi defisit selama tujuh bulan. Artinya ketersediaan air sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan air bagi penduduk di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Hasil penelitian lain mengenai neraca air pada tahun 2003 menunjukkan hasil yang senada, dari total kebutuhan air di Pulau Jawa dan Bali sebesar 83,4 miliar meter kubik pada musim kemarau, hanya dapat dipenuhi sekitar 25,3 miliar kubik atau hanya sekitar 66 persen.
Tidak hanya kawasan terpencil yang mengalami krisis air di Indonesia, bahkan ibu kota negara Jakarta tidak luput dari krisis air bersih. Data yang dilansir CNN(11/06/17) menyebutkan 80 persen air tanah di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) di Jakarta tidak memenuhi standar Kemenkes tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Disisi lain, air sebagai sumber daya alam yang memiliki nilai sangat strategis ternyata keberadaanya banyak dikuasai oleh swasta dan asing. Privatisasi PDAM di berbagai daerah yang dilakukan semenjak era 1990an, ternyata tidak menjamin pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Hal ini tentu melanggar amanat Konstitusi Negara kita dimana disebutkan dalam Undang Undang Dasar 1945; “…air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh Negara dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat”.
Dampak dari krisis air sangatlah dahsyat; selain ancaman kesehatan individu dan sanitasi lingkungan, ancaman lain yang bisa muncul adalah krisis pangan, bahkan secara sosial, kekurangan air bersih juga dapat menyebabkan konflik antar masyarakat dan juga antar Negara.
Upaya yang dilakukan Pemerintah saat ini sekedar mengupayakan dropping bantuan air bersih ke daerah yang terdampak bencana kekeringan di musim kemarau serta melakukan revitalisasi dan normalisasi berbagai bendungan, waduk dan embung yang sudah ada sebagai program jangka panjang.Apakah upaya itu sudah cukup? Tentu saja belum, harus ada kolaborasi dari semua pihak dalam mengatasi krisis air ini.
Melawan Krisis Air dengan Wakaf
Saya sangat terinspirasi dengan kisah Usman bin Affan ketika membeli sumur milik seorang Yahudi di Madinah dan kemudian diwakafkan untuk kepentingan masyarakat banyak. Masyarakat yang sebelumnya harus membeli dengan harga yang sangat mahal dari orang Yahudi tersebut, akhirnya bisa memanfaatkan sumur wakaf tersebut secara cuma-cuma. Bahkan hingga saat ini sumur ini masih ada dan terus dimanfaatkan oleh masyarakat disekitarnya.
Beberapa hari kemarin (22/11/18), saya mendapatkan kesempatan berbicara dengan Pak Lukmanul Hakim CEO dari ‘kitawakaf.com’. Beliau bercerita jika telah bekerjasama dengan beberapa pihak untuk mewujudkan wakaf 1000 unit alat pemurni air yang akan distribusikan ke seluruh penjuru nusantara guna membantu masyarakat yang kesulitan air bersih.
Kitawakaf.com sendiri merupakan platform IT yang memudahkan waqif (orang yang berwakaf) untuk bertemu dengan nadzir (pengelola wakaf) sesuai dengan program wakaf yang diharapkan oleh waqif. Konon platform wakaf berbasis crowdfunding seperti ini baru pertama ada Indonesia.
Mengutip Sindo(9/1/18), potensi wakaf di Indonesia saat ini mencapai Rp. 2000 triliun, ini merupakan potensi luar biasa untuk mengatasi krisis air yang saat ini melanda Indonesia dan dunia. Dana wakaf yang terkumpul itu bisa digunakan untuk membeli lahan kritis yang terbengkalai dan kemudian dihijaukan kembali dengan tanaman produktif sebagai sarana konservasi air. Masyarakat di kawasan tersebut akan mendapatkan manfaat dari hasil tanaman produktif sekaligus mendapatkan pasokan air.
Bukan tidak mustahil suatu saat nanti, PDAM di Indonesia yang saat ini dikuasai oleh perusahaan swasta dan asing, sahamnya bisa dibeli oleh umat melalui konsep wakaf produktif.
Sebagai gambaran, awal tahun 2018, saham PT. Aetra Jaya salah satu pengelola air minum di Jakarta sahamnya diambil alih oleh Moya Indonesia (Salim Group) dengan nilai Rp. 1,2 triiun. Jika di simulasikan melalui wakaf tunai, maka cukup setengah populasi warga Jakarta (5 juta orang) berwakaf tunai sebesar Rp. 240.000 untuk menguasai PT. Aetra Jaya. Tidak terlalu berat kan?
Dengan keberadaan platform seperti Kitawakaf.com, akan memudahkan nadzir menggalang wakaf tunai dari untuk merebut kembali kedaulatan rakyat dengan membeli saham swasta dan asing di PDAM bahkan saham perusahaan Air minum dalam kemasan (AMDK) guna dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemashlahatan umum. [syahid/voa-islam.com]
*) Penulis adalah seorang akademisi serta pegiat sosial dan kemanusiaan.Direktur Qualita Insani Foundation