JELANG pilpres 2019, publik disuguhi keriuhan intrik dan gimik perpolitikan. Anak-anak muda belajar kosakata baru semacam sontoloyo dan genderuwo dari para politikus. Dua kubu saling menyorot kelemahan lawan dan digoreng di media habis-habisan. Bahkan persaingan pun dibawa ke ranah film. Masyarakat diminta dukungan riilnya dengan memilih di antara dua judul film yang harus ditonton di bioskop. A Man Called Ahok mewakili kubu petahana, sementara Hanum Rangga adalah representasi kubu oposisi.
Miris. Segala keriuhan itu nyatanya disajikan oleh para elit politik dari kalangan petinggi partai serta tokoh nasional. Alih-alih memberikan edukasi politik kepada masyarakat, para politisi justru saling serang personal lawan. Memang sayup terdengar soal adu gagasan. Tapi jika didetilkan, ternyata tak lebih dari obral harapan. Gagasan bombastis tanpa perencanaan dan pendalaman fakta, seperti pungguk merindukan adidaya.
Memenangkan opini di ranah demokrasi merupakan sesuatu yang penting bahkan menjadi tolak ukur kesuksesan. Para politisi menggunakan berbagai media informasi untuk mengkampanyekan diri. Terpilihnya Obama pada 2008 misalnya.
Sebagaimana dilansir dari merdeka.com (21/5/2012), peran media sosial sangat signifikan dalam pemilu presiden di Amerika Serikat (AS). Obama berhasil memenangkan persaingan dengan Hilary Clinton di dalam internal partai serta mengalahkan Mc Cain pada pilpres berbekal kampanye masif di media sosial.
Tak hanya Obama, politikus lainnya seperti Thomas Jefferson dan John F. Kennedy memahami betul pentingnya penggunaan teknologi informasi. Di masanya, Jefferson mengakomodir ambisinya dengan menggunakan koran-koran setempat. Langkah itu dilanjutkan Kennedy yang tercatat menjadi presiden pertama AS yang memakai jasa televisi di masa kampanye (merdeka.com).
Kampanye merupakan urat nadi dalam pemilihan pemimpin ala demokrasi. Ini karena asas ‘suara terbanyak’ dalam demokrasi menuntut calon pemimpin melakukan pendekatan ke masyarakat untuk menggaet suara mereka. Setiap orang yang memiliki hak pilih harus diyakinkan untuk memilih si calon dengan kampanye di berbagai media.
Pada akhirnya, politik tak lebih dari polesan citra si calon penguasa. Hal ini berkaitan pula dengan penguasaan media. Semakin banyak media yang dikuasai, tentu semakin ‘dekat’ dengan rakyat sekaligus semakin banyak ‘pukulan’ kepada lawan politik. Perpolitikan semacam ini, tidakkah ingin diakhiri?
Berbeda dengan Islam. Islam memandang politik merupakan bagian dari aturan Allah yang harus ditaati. Politik yang dimaknai sebagai pengurusan umat merupakan seperangkat mekanisme penguasa dalam meriayah atau memenuhi keperluan rakyat. Penguasa dalam Islam memahami betul bahwa ia bertanggung jawab atas setiap jiwa yang dipimpinnya.
Pertanggungjawabannya langsung di hadapan Allah. Karenanya, setiap penguasa dalam Islam akan berhati-hati agar tidak melakukan kedzaliman terhadap umat yang dipimpinnya. Kedzaliman adalah ketika penguasa memimpin umat tanpa syariat.
Terkait mekanisme pemilihan pemimpin, Islam pun mengenal konsep pemilihan umum. Terpilihnya Utsman bin Affan sebagai khalifah yang ketiga didahului dengan proses pemilihan umum. Para sahabat yang bertugas, mengetuk setiap pintu rumah penduduk untuk menanyakan pilihan mereka di antara Utsman atau Ali.
Namun, berbeda dengan sistem demokrasi, penguasa yang terpilih dalam Islam menjalankan amanahnya dengan syariat sebagai landasannya. Begitupun masyarakat ketika melakukan koreksi pada penguasa, juga menggunakan landasan syariat. Calon penguasa tak perlu mengumbar janji manis tanpa bukti. Cukup komitmen mereka untuk melaksanakan syariat dalam memimpin. Kelak, masyarakat akan melakukan muhasabah atau koreksi jika penguasa menyimpang dari syariat dalam menjalankan amanahnya.
Politik dan kepemimpinan Islam mustahil didapati di alam sekulerisme demokrasi. Karena yang haq takkan mungkin bercampur dengan yang bathil. Islam adalah haq, sekulerisme demokrasi adalah bathil. Allah berfirman,
“Janganlah kalian campur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kalian sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya”. (Q.S.:2 Al-Baqarah 42).
Mewujudkan al haq dalam kehidupan ini adalah dengan memurnikan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk politik. Sayangnya, kehidupan telah dikuasai sekulerisme demokrasi. Maka, ini saatnya kaum muslimin berjuang mewujudkan penerapan syariat secara kaffah dalam kehidupan. Mari terus gencarkan dakwah untuk mengembalikan kehidupan Islam. Keistiqamahan perjuangan akan mewujudkan kebangkitan Islam sekaligus "kehancuran" sistem kehidupan yang lain.
Dan katakanlah: “Yang haq telah datang dan yang bathil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” (Q.S:17 Al Isra 81).*
Oktavia Nurul Hikmah, S.E.
Gresik, Jawa Timur