Oleh: M. Rizal Fadillah
Pengkritisan terhadap kotak suara dari kardus atau yang menurut KPU karton kedap air adalah hal yang wajar sebagai salah satu bentuk kewaspadaan terhadap kemungkinan kecurangan dalam pemilihan umum.
Bahwa kotak suara itu dibuat berdasarkan PKPU No 15 tahun 2018 dan pernah digunakan dalam pemilu terdahulu, tidaklah menutup sebab atas pengkritisan tersebut. Apalagi dasar pertimbangan KPU semata-mata untuk penghematan. Dari hemat bisa berakibat kecerobohan.
Pemilu, khususnya Pilpres 2014 yang lalu juga tidak bersih dari dugaan penyimpangan atau kecurangan. Isu dari soal penggelembungan hingga penyedotan suara pun mengemuka. Bahkan meninggalnya Ketua KPU Husni Malik menjadi misteri yang dikaitkan dengan soal pemenangan Presiden. Artinya jika kotak suara kardus ini pernah digunakan, baik seluruhnya atau sebagian, maka hal itu masih menimbulkan masalah akan adanya dugaan pemudahan terjadinya kecurangan.
Kini ditengah sinyal-sinyal kekhawatiran yang ada mengenai kecurangan pemilu tahun 2019 yang akan datang, mestinya KPU mengambil kebijakan yang lebih menjamin publik bahwa pemilu yang akan datang itu aman, jujur dan adil. Termasuk amannya kotak suara. Justru kualitas KPU saat ini dipertanyakan karena masalah kotak suara saja harus menjadi kontroversi. Sebelumnya ramai pula pro kontra kebijakan KPU yang memberikan hak pilih pada orang gila.
Kekhawatiran besar masyarakat akan terjadinya kecurangan dengan masuknya orang gila sebagai pemilih, lalu misteri 31 Juta DPT dan e-KTP yang tercecer. Kini ditambah lagi dengan kotak suara kardus. Standarnya hanya kedap air, padahal risiko kecurangan bisa dari pembakaran, maknanya mesti kedap api, kemudian kedap angin, atau anti penyobekan, perusakan dengan benda tajam.
Kardus atau karton itu tak mungkin digembok. Nanti seperti abunawas yang membuat rumah hanya pintu dan jendela tanpa ada dinding. Tak ada gunanya. Bisa saja KPU tidak berniat curang dengan ini, tapi musang musang politik berbulu domba akan gembira dan membuat skenario jahat untuk memanfaatkan kelemahan ini.
Yang lebih substansial bagi rakyat atau masyarakat adalah simbol penghargaan atau martabat. Suara yang diberikan itu disimpan dimana. Suara rakyat yang disimpan di kotak suara yang terbuat dari emas atau perak, menandai betapa berharganya suara itu. Disimpan di kotak suara alumunium masih tinggi juga penghargaan. Namun tidak untuk di kardus. Ini wujud dari rendahnya nilai suara rakyat itu. Disimpan asal saja di kardus yang tak aman dari pencurian atau pengrusakan.
Apalagi jika sampai pada adagium bahwa suara rakyat adalah suara tuhan, maka disini tuhan pun akhirnya harus disimpan dalam kardus. Meski bukan harfiahnya, tapi pemuliaan suara yang dijaga itulah yang mesti dilakukan KPU. Jangan membuat rakyat ragu akan keamanan dan penghargaan atas suaranya tersebut.
Masyarakat selalu dalam posisi mengurut dada atas keadaan. Usulnya pasti ganti kembali kotak suara dengan bahan alumunium. Tapi KPU berargumen kotak kardus itu sudah dibuat. Nanti mubazir. Rakyat kembali menjadi obyek penderita. Benarkah ini rezim yang hemat, cermat, dan amanat ? Nanti dulu, kini rakyat sedang melihat bahwa di rezim saat inilah keborosan keuangan negara itu luar biasa terjadi.
Tidak cermat karena banyak kebijakan yang aneh aneh. Mengatur negara seperti mengatur perusahaan sendiri, terkesan seenaknya tanpa pengendalian. Amanat diabaikan, omongan tak sama dengan kenyataan, pencitraan didahulukan. Inilah rezim yang tidak memuliakan rakyat. Memang, rezim kardus. [syahid/voa-islam.com]