Oleh: Dr. Anton Minardi, SIP., SH., M.Ag., MA.*
Suatu 'World Common Concensus' bahwa dasar daripada pembangunan era modern dan hubungan masyarakat dunia adalah berdasarkan pada prinsip saling menghargai dan menghormati Hak Asasi manusia.
Berbagai gerakan hak asasi manusia pun dimulai semenjak para Nabi dan Rasul membebaskan segala bentuk perbudakan, yang diteruskan dengan gerakan decolonialisasi bahkan gerakan apartheid dan gerakan non diskriminatif lainnya.
Spirit tersebut telah ada pula Universal Declaration on Human Rights telah disahkan pada Sidang umum Perserikatan Bangsa-bangsa 19 Desember 1948, untuk memperkuat maka telah disahkan pula Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) 4 Januari 1949.
Di Bandung pun telah terjadi Konferensi Asia-Afrika 18-24 April 1955 yang pada intinya menyepakati untuk melawan segala bentuk perbudakan dan kolonialisme.
Begitu pun Negara Indonesia yang telah berdiri untuk menghapuskan segala bentuk penjajahan di atas muka bumi dinyatakan dengan jelas dalam Iftitah UUD 1945.
Terkait dengan ICERD, Indonesia sendiri sudah meratifikasi Konvensi ini pada tanggal 25 Juni 1999 dengan lahirnya UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL 1965).
Hari ini sedang terjadi pembantaian di Uighur, dimana manusia yang hakekat nya merdeka telah dirampas hak-haknya sebagai manusia. Dirampas haknya untuk merdeka, berpendapat, berkeyakinan agama, praktek kepercayaan nya, bahkan dirampas haknya untuk memperoleh keamanan, pendidikan dan kesejahteraan nya.
Mereka dipaksa oleh penguasa rezim diktator Cina untuk meninggalkan kebebasan nya dalam memilih pendapat, memiliki kepercayaan dan jati dirinya sebagai manusia yang mereka.
Mereka dipaksa untuk tidak menutup auratnya, mereka dipaksa untuk meninggalkan sholat dan shaumnya, dipaksa untuk tidak beribadah kepada Tuhan nya, merera diteror bahkan mendapatkan penyiksaan.
Saudara-saudariku di Uighur dipaksa untuk tunduk pada kepentingan penguasa, diseret ke kamp-kamp konsentrasi, penjara bahkan penyiksaan.
Wahai Para pemimpin negeri yang punya kuasa, punya pasukan, punya senjata, punya perangkat diplomasi, dimana nurani kalian ?
Kita adalah bangsa yang tidak suka dengan kekerasan, tidak suka dengan diskriminasi dan tidak suka dengan penjajahan.
Kemanakah suara kalian? Kemanakah devisa dan aset negara yang kalian anggarkan? Kemanakah pasukan kalian? Kemanakah senjata kalian? Kemanakah para diplomat kalian?
Apakah karena hutang-hutang kalian kepada Cina membuat kalian tidak berani bicara? Apakah karena konglomerat Cina kalian tidak berani mengambil sikap membela? Apakah karena kalian sudah tidak memiliki hati nurani untuk menolong orang yang teraniaya?
Kami belum bicara Islam sebagai agama kami yang mengajarkan bahwa setiap Muslim adalah bersaudara. Jika sakit seorang muslim, maka sakitlah seluruh kaum Muslimin.
Kami belum berbicara jika saudara kami ditindas, maka kami kaum Muslimin terbesar di dunia siap melawan.
Kami belum berbicara jika diperangi seorang Muslim maka seluruh kaum Muslimin siap untuk berperang melawan kedzaliman.
Kami mengingatkan karena kami sayang, kami mengingatkan karena kami cinta damai, kami mengingatkan karena kami inginkan hidup sejahtera berdampingan saling menghargai dan menghormati sesama makhluk Tuhan.
Wahai penguasa, adalah wajar kalau kami mengingatkan karena ini amanat konstitusi.
Wahai penguasa, adalah wajar kalau kami mengingatkan karena dunia sudah sepakat mengakhiri diskriminasi dan penjajahan.
Wahai penguasa, adalah wajar jika kami mengingatkan karena tidak boleh ada lagi korban lanjutan.
Beberapa hal yang bisa dilakukan:
Pertama, gunakan jalur diplomatik untuk membicarakan kasus tersebut dengan baik.
Kedua, gunakan jalur diplomatik di berbagai forum dunia karena negara ada perwakilan nya di sana.
Ketiga, gunakan tekanan karena negeri ini punya kekuatan militer.
Keempat, jika karena hutang kepada Cina membuat pemerintah tidak mampu bahkan berbicara dan mengingatkan kelakuan mereka maka kebalikan segera hutang-hutang itu kepada mereka Cina Penjajah itu.
Kelima, jika jalur diplomatik dan militer tidak digunakan maka kami siap untuk terjun membela setiap Uighur yang dihina, dianiaya dan dianiaya.
Begitu juga untuk saudara-saudariku sesama makhluk Tuhan di Patani, Myanmar, Mindanao dan dimana pun berada.
Kepada seluruh aktivis kemanusiaan mari lakukan: Aksi mengingatkan kepada penguasa. Do'a istighotsah untuk mendapat pertolongan, jika perlu kita aksi turun ke jalan.
Netral ketika ada penganiayaan dan pembantaian terhadap kemanusiaan adalah nukti ketidakpedulian dan bentuk dari pelanggaran.
Semoga kita terhindar dari ketidakpedulian dan kelemahan untuk menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan. Allahu A'lam. [syahid/voa-islam.com]
*Aktivis Humanity Care, Amir Gerakan Ukhuwwah Islamiyyah dan Hijrah (G-UIH), Dosen HI Fisip Unpas