Oleh : Fatimah Azzahra, S.Pd
“Jengkel saya!”, kata sang Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, ketika mendengar banyak ibu rumah tangga yang berteriak harga pangan saat ini mahal (13/12/2018, finance.detik.com).
Seperti biasanya, akhir tahun menjadi ajang bagi lonjakan harga pangan. Ditambah lagi sekarang terjadi inflasi sebesar 0,4% (okezone.com, 21/12/2018). Para pejabat negara pun mengungkapkan berbagai alasan kenaikan harga, mulai dari sekarang musim liburan, natal, dan tahun baru.
Wajarlah jika rakyat menjerit. Karena kebutuhan pokoknya kini kian melangit. Kenapa penguasa justru kesal? Bukankah memang tugas penguasa mengurusi urusan rakyat? Mengerahkan segala pemikiran dan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Inilah salah satu indikasi kegagalan sistem kapitalisme dalam mengurusi urusan rakyatnya. Dalam kacamata kapitalisme, penguasa bukan bertindak sebagai pemenuh kebutuhan rakyat, juga pengurus rakyat. Hubungan yang diakui hanya untung dan rugi. Negara hanya bertindak sebagai wasit, supervisor, dan membiarkan rakyatnya berusaha sendiri memenuhi kebutuhannya. Wajar jika sang kepala staf Kepresidenan merasa jengkel dengan jeritan rakyat, dan menyarankan untuk menanam sendiri kebutuhan pangannya. Ya bolehlah, kalau semua rakyat punya lahan untuk bercocok tanam. Faktanya, tidak semua rakyat punya lahan untuk bercocok tanam. Jangankan untuk bercocok tanam, tempat untuk mengistirahatkan badan pun tak semua rakyat punya.
Dalam sistem kapitalisme yang kini tengah diterapkan, kemajuan ekonomi ditentukan oleh besarnya investasi, pertumbuhan, dan lain-lain. Akibatnya, yang diperhatikan adalah para pengusaha. Sebab, merekalah yang dipandang pencipta kemajuan ekonomi. Kondisi rakyat serba kekurangan tidaklah jadi ukuran.
Lain halnya dengan Islam. Sebagai agama mayoritas yang dianut oleh penduduk Indonesia, Islam ternyata punya solusi atas permasalahan ini. Islam mewajibkan negara memenuhi kebutuhan pokok setiap individu rakyatnya, per kepala, bukan per keluarga atau per kapita. Dalilnya, "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf” (TQS. Al Baqarah 233). "Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu" (TQS Ath-Thalaq :6). Untuk mengakomodasi kewajiban para ayah, negara wajib memberi jalan untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Setiap individu rakyat didorong, diberi kemampuan (skill) untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok tersebut. Disamping memberikan peluang yang sama untuk dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Tidak boleh ada warga yang terkena busung lapar dan gizi buruk, atau jungkir balik hanya sekadar untuk makan sehari sekali.
Negara pun wajib memperhatikan ketahanan pangan, terutama dalam upaya pemenuhan kebutuhan rakyat. Selain itu, ketahanan pangan juga menjadi bagian dari kekuatan negara menjaga dari intervensi asing.
Sejarah mencatat kegemilangan penerapan Islam selama 13 abad. Kegemilangan yang sama akan kita rasakan kembali jika kita mau mengambil Islam sebagai sistem kehidupan. Menerapkannya secara sempurna dalam setiap sendi kehidupan kini dalam bingkai negara.
Wallahu’alam bish shawab.
Ilustrasi: Google