View Full Version
Kamis, 27 Dec 2018

Seberapa Greget Indonesia Lihat Diskriminasi Di Cina?

Oleh: Anisa Fitri Mustika Belan (Mahasiswi FIS UNJ)

Katanya sesama muslim bersaudara

Teruss…

Kok ada diskriminasi Pemerintah RI diam saja

Yahhh…

Aksi di depan Kedubes Cina pada Jumat (21/12) lalu manandakan gregetnya rakyat Indonesia atas perlakuan diskriminatif Rezim Cina terhadap masyarakat etnis Uighur yang berakhir pada penahanan ketika menggunakan identitas keIslaman, seperti menolak minum alkohol, memakai kerudung panjang, menumbuhkan jenggot bagi anak-anak muda ataupun memiliki buku berbahasa Arab.

Dilaporkan dari Kejaksaan Rakyat Xinjiang (2017) bahwa terjadi peningkatan sebanyak 731% (227.882 orang) penangkapan di wilayah yang luasnya 1,6 juta km persegi itu, (harian Republika, 21/12/18).

Lebih gregetnya lagi, Pemerintah Cina menjadikan terorisme sebagai dalih untuk memperlakukan masyarakat Uighur secara diskriminatif. Dolkun Isa, seorang politikus dan aktivis Uighur dari Wilayah Otonomi Xinjiang Uighur mengklaim tuduhan teroris oleh pemerintah Cina terhadap dirinya dan orang-orang Uighur lainnya dibuat untuk meredam perbedaan pendapat.

Apabila bicara definisi bisa dilihat dalam KBBI, sesungguhnya kata “teroris” lebih pantas disematkan pada pemerintah Cina lantaran telah menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut masyarakat Uighur.

Dolkun Isa juga mengatakan bahwa apa yang disebut kamp “pendidikan ulang” yang dibuat oleh Rezim Cina untuk menahan orang Uighur adalah “kamp konsentrasi abad 21”, (sindonews.com).

Indoktrinasi terjadi dalam kamp tersebut, Omir Bekali, seorang muslim Kazakh dan mantan tahanan lainnya mengatakan kepada Associated Press bagaimana mereka harus mengingkari keyakinan agama mereka, mengkritik diri sendiri dan orang yang mereka cintai seraya bersyukur kepada Partai Komunis yang berkuasa, sungguh tenakan psikologis yang sangat besar diterima para tahanan, (abc.net).

Meski umat Islam sudah greget dengan kedzaliman Rezim Cina yang menambah daftar kedzaliman di berbagai negeri muslim, tetap tak membuat para penguasa negeri-negeri muslim bergeming. Mereka tetap bungkam, seolah belum greget dengan perlakuan tak masuk akal itu. Sama halnya dengan pemerintah Indonesia yang masih tak mau angkat bicara soal Uighur. Sikap yang ditujukan oleh pemerintah Indonesia ini menguatkan argumentasi bahwa negara ini sekuler dan tidak berlandaskan Islam.

Mundur sedikit kebelakang, pada 10 September 2017, Human Right Watch merilis laporan yang mendesak pemerintah Cina segera membebaskan orang-orang yang ditahan di kamp-kamp. Dan meminta agar pemerintah Cina segera menghapuskan kamp “pendidikan ulang” tersebut.

Bahkan, anggota kongres yang dimotori oleh Marco Robio meminta AS memberikan sanksi keras terhadap para pejabat Cina yang dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Xinjiang. Kemudian pada 11 September 2018, China meminta Ketua Komisi HAM PBB Michelle Bachelet menghormati kedaulatan negaranya setelah dia mengizinkan para pemantau HAM memonitor situasi di Xinjiang.

Kemudian China membuat pernyataan hiprbolis dengan mengatakan bahwa Beijing tidak ingin Xinjiang seperti Suriah dan Libia, (wartakota.tribunnews.com).

Diskriminasi di Xinjiang telah masuk dalam pusaran isu global, pihak Cina menilai AS sengaja bersuara karena memang sedang melakukan perang dagang dengan Cina ditambah lokasi Xinjiang yang sangat strategis serta pesatnya pembangunan infrasturktur dan ekspor yang tinggi. Berbeda dengan pemerintah Indonesia yang bisa dibilang masih sangat bergantung pada Cina terkhusus karena hutang yang menggunung membuat takut bersuara.

Mencoba berpikir jernih, sesungguhnya memang benar telah terjadi pelanggaran HAM di Cina terkhusus masalah kebebasan beragama. Namun, tidak ada penyelesaian tuntasnya karena begitulah standar manusia berbeda-beda termasuk dalam menyikapi hal ini terlihat dari respon pemerintah Cina, AS dan Indonesia, sehingga HAM tak berkutik dan hanya sekedar kritik.

PBB pun tidak bisa menyelesaikan kasusnya dan hanya memonitor saja, karena pemerintah Cina meminta PBB menghormati kedaulatan negaranya. Konsep negara bangsa telah menjadi sekat penyelesaian kasus Xinjiang. Membuat keberadaan penduduk muslim dunia, tentara dan senjata mereka tak berguna untuk membebaskan saudara-saudara seakidah.

Nasionalisme bahkan telah mengikis ruh keIslaman para penguasa negeri Muslim, karena dengan menyetujui, menyokong dan mendukung nasionalisme sama saja dengan melancarkan agenda barat bertajuk WOT yang sejatinya adalah melawan Islam dan umat Islam.

Hal ini juga yang akhirnya membuat PBB diam seribu bahasa ketika Cina mengungkap tak ingin negerinya seperti Suriah dan Libia, padahal sesunggunya kedua negeri itu hancur juga karena permainan global AS dan krooni-kroninya.

Seberapa greget Indonesia lihat diskriminasi di Cina?

Katanya HAM melindungi kebebasan beragama

Teruss…

Kok ada genosida agama diam seribu bahasa

Yaaahh…

Jalan satu-satunya untuk menyelesaikan permasalahan diskriminasi ini adalah dengan terwujudnya kembali sistem pemerintahan Khilafah yang berasal dari ideologi Islam.

Jika dibandingkan dengan ideologi komunisme yang dianut China, Korsel dan Rusia, ideologi kapitalisme yang dianut hampir seluruh negeri di dunia dengan ideologi Islam yang belum diterapkan oleh negara manapun saat ini, maka hanya ideologi Islam yang mampu menjamin seluruh umat manusia hidup tanpa adanya diskriminasi apalagi genosida agama.

Terlihat ketika ideologi komunis membantai dan membunuh jutaan nyawa manusia ketika diterapkan oleh Hitler di Jerman, Stalin di Uni Soviet dan kini diskriminasi serta genosida agama di Cina. Berbeda dengan Islam yang sangat menjaga nyawa manusia, Rasulullah saw. bersabda “Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.” (H.R. An-Nasa’I [VII/82] dan At-Tirmidzi no. 1395, dishahihkan oleh Syaikh Albani).

Sedangkan kapitalisme, memandang manusia sebagai salah satu faktor produksi yang dibayar murah, memandang asas manfaat dan kenikmatan dunia sebagai arti kebahagiaan dan menciptakan segelintir orang kaya dengan berjuta orang miskin. Selain itu, ideologi kapitalisme ini juga membuat diskriminasi di Uighur tak bisa diselesaikan lantaran konsep negara bangsa buatannya.

Tinta emas telah mencatat sejarah ketika Kota Amurriyah yang dikuasai oleh Romawi saat itu berhasil ditaklukkan oleh al-Mu’tashim. Pada penyerangan itu sekitar 3.000 tentara Romawi tewas terbunuh dan sekitar 30.000 menjadi tawanan. Dan di antara faktor yang mendorong penaklukan kota ini adalah karena adanya seorang wanita dari sebuah kota pesisir yang ditawan di sana.

Ia berseru, “Wahai Muhammad, wahai Mu’tashim!” Setelah informasi itu terdengar oleh Khalifah, ia pun segera menunggang kudanya dan membawa bala tentara untuk menyelamatkan wanita tersebut plus menaklukkan kota tempat wanita itu ditawan. Setelah berhasil menyelamatkan wanita tersebut al-Mu’tashim mengatakan, “Kupenuhi seruanmu, wahai wanita!” (hidayatullah.com).

Ketika satu orang ditawan saja satu kota langsung ditaklukkan apalagi ketika sudah banyak umat Islam yang ditawan oleh Cina, bisa jadi satu negeri Khilafah mampu menaklukkannya. Wallahu’alam bishawwab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version