View Full Version
Sabtu, 29 Dec 2018

Memahami Toleran dan Intoleransi Beragama di Ruang Publik

Oleh: Muhammad Farid

(Peneliti Sosial-Agama, Institut Hatta-Sjahrir Banda Naira)

Apakah toleran dan intoleran? Dua istilah ini penting dimengerti secara memadai mengingat penggunaan defenisinya yang masih problematis.

Sebagai contoh, baru-baru ini sebuah koran nasional menulis “Jakarta Masuk dalam 10 Kota dengan Nilai Toleransi Rendah”. Data bersumber dari SETARA Institute yang menggunakan beberapa variable seperti; Regulasi Pemerintah Kota, Tindakan Pemerintah, Peristiwa Sosial, Demografi agama (lihat kompas.com, 2018, setara-intitute.org, 3018)

Di sisi lain, ada kasus yang secara “gampangan” diklaim sebagai wujud toleransi. Seperti video yang baru-baru ini viral di media social, yang merekam sebuah proses peribadatan dua pemeluk agama (Islam dan Kristen) di sebuah gereja di Amahusu, salah satu wilayah di Maluku. Video itu menjadi viral karena di dalamnya hadir seorang pejabat MUI Maluku dalam ibadah tersebut, yang dalam sambutannya menjelaskan bahwa peristiwa itu sebagai wujud toleransi beragama.

 

MEMAHAMI TOLERANSI DAN INTOLERANSI BERAGAMA

Pertama yang harus dimengerti dari defenisi toleran-intoleran itu adalah sebuah “tindakan”, dan bukan pikiran, apalagi sekedar aturan. Disebut toleran, menurut Cohen (2004) adalah tindakanyang disengajaoleh actor dengan berprinsipmenahan diridari campurtangan (menentang)perilaku merekadalam situasikeragaman, sekalipun actor percayadiamemiliki kekuatan untukmengganggu(Cohen 2004, hal. 69).

Artinya, didalam toleransi terkandung dua kata kunci, yang sekaligus berperan sebagai prinsip, yaitu (1) “kesengajaan” (intent), dan (2) “tidak-mengganggu” (Non-interference). Keduanya adalah element yang sama penting.

Russell Powell dan Steve Clarke dalam Religion, Tolerance and Intolerance: Views from Across the Disciplines, bahkan memposisikan elemen“ tidak-mengganggu” sebagai inti dari toleransi. Dan sikap tidak-mengganggu ini harus bersifat direct,atau “tidak-mengganggu-secara langsung”.

Powel memberi contoh: Seorang Katolik yang disebut toleran adalah ketika dia membolehkan praktik keagamaanProtestan dimasyarakatnya, sekalipun dia tidak setuju dan punya kemampuan melarang tapi justru memilih tidak mengganggunya (lihat Powell & Clarke, Oxford Univ, p.4-5).

Dalam kasus lain, Seorang Muslim yang membolehkan perayaan natal sahabatnya yang Nasrani, sekalipun dia memilih tidak mengucapkan “Selamat Natal” kepada sahabatnya itu karena tahu hal itu bertentangan dengan keyakinannya. Maka, dalam perspektif Powell dan Clark, muslim tadi tetap disebut toleran karena dengan sengaja menahan dirinya tidak setuju atau menggangu ritual Natal sahabatnya itu.

Artinya, hanya dengan “sengaja-tidak-mengganggu” (intent to non-interfere) terhadap orang lain maka seorang dapat disebut toleran. Unsur “sengaja” ini sangat penting, karena andai seorang tidak-menggangu hanya karena acuh dan abai maka dia tidak dapat disebut toleran.

Bagaimana dengan intoleransi? Jelas intoleransi adalah kebalikan dari semua prinsip yang terdapat dalam toleransi. Ada setidaknya 3 komponen intoleransi; (1) ketidak-mampuan menahan diri tidak suka kepada orang lain, (2) sikap mencampuri dan atau menentang sikap atau keyakinan orang lain, dan (3) sengaja-mengganggu orang lain.

Melanjutkan contoh kasus Natal diatas; maka M akan disebut intoleran jika dirinya bertindak secara vulgar mengungkapkan ketidaksetujuannya, atau menolak bahkan menentang dengan kata-kata misalnya, “natal itu tipu muslihat gereja”. Atau “Jangan mau dibohongi dengan acara natal”. Tindakan ini jelas dan tegas tergolong tindakan intoleran.

 

BISAKAH MENGUKUR TOLERANSI?

Menurut Hunsberger (1995), intoleran adalah tindakan negatif yang dilatari oleh simplifikasi-palsu, atau “prasangka yang berlebihan” (over generalized beliefs). Prasangka semacam ini memiliki tiga komponen; (1) komponen kognitif mencakup stereotip terhadap “kelompok luar yang direndahkan”; (2) komponen afektif yang berwujud sikap muak atau tidak suka yang mendalam terhadap kelompok-luar; dan (3) komponen tindakan negatif terhadap anggota kelompok-luar, baik secara interpersonal maupun dalam hal kebijakan politik-sosial (Hunsberger's, 1995:113-29).

Tapi tiga komponen intoleransi, juga memungkinkan, secara teoretik, orang yang berprasangka negatif tapi justru bertindak positif terhadaporang lain. Powel dan Clarke mengafirmasi hal ini, seskipun kombinasi inimungkin sebuah pengecualian (Powell & Clarke:18). Artinya, seorang yang bertindak intoleran bisa dipastikan memiliki pandangan stereotip/negatif kepada orang. Tapi sebaliknya, seorang yang hanya berpikir negatif boleh jadi bukan seorang yang intoleran.

Korelasi yang longgar antara pikiran dan tindakan membuat ukuran untuk mengidentifikasi seorang atau kelompok tergolong toleran atau intoleran menjadi tidak mudah. Toleransi bahkan menjadi aneh ketika diukur dengan angka-angka statistik, sekalipun bukan mustahil itu dilakukan. Seperti laporan tahunan lembaga-lembaga yang disebut diawal tulisan ini.

Problem ukur-mengukur toleransi ini sudah diakui para ahli sejak lama. Gibson (2005) misalnya menyebut bahwa toleransi itu mustahil dianalisis lewat survey. Sebab untuk mengetahui sejauh mana orang akan setuju terhadap perbedaan atau keanekaragaman perlu ditanya tentang sikap khusus mereka dan mengamati reaksi mereka yang tentu saja berbeda-beda (Gibson 2005, 317).

 

TOLERAN DI RUANG PUBLIK

Dalam konteks Ruang Publik, idealnya, wilayah ini nihil dari klaim-klaim subjektif apalagi tindakan diskriminatif. Jurgen Habermas, sang konseptor Ruang Publik, menggarisbawahi tiga poin penting tentang ruang publik ideal yaitu: (1) Partisipasi dan non-diskriminasi.

Yaitu, ruang publik harus menjadi sebuah forum terbuka untuk semua. (2) Otonomi, yaitu ruang publik harus otonom karena lingkungan otonom kondusif bagi perdebatan kritis dan rasional. Dan (3) Berisikan debat Rasional atau analitis, yang merupakan esensi ruang publik (Habermas 1989: 36).

Artinya, sebuah Ruang Publik Beragama yang ideal adalah wilayah bersama yang menampung segala kekhasan beragama tanpa halangan apapun. Artinya, semua sikap dan simbol keagamaan kelompok agama manapun harus diizinkan tampil dan dirayakan.

Maka pembatasanapalagipenindasan terhadap kelompok agama tertentu seharusnya tidak boleh terjadi hanya karena model beragama mereka yang berbeda atau khas, seperti; jenggot, jubbah, atau wanita yang berhijab dan berkalung salib. Termasuk ekspresi ibadah kelompok tertentu yang memilih di lapangan atau di jalan-jalan sepatutnya tidak boleh dikekang, diintimidasi, distigma negatif, alih-alih dipersekusi di ruang publik.

Tapi yang harus dipahami, pengakuan simbol dan ekspresi masing-masing pemeluk agama dalam ruang publik ini semata dalam konteks dialogis-sosiologis, dan bukan melompat jauh kedalam jantung esensi beragama.

Karena lompatan model itu hanya akan menyatukan substansi agama-agama yang justru berbeda-beda. Dan itu berbahaya. Bahkan oleh pakar Kristologi, Frans Magnis Suseno menyebut “Perkara penyatuan seperti itu jelas tidak lucu dan tidak serius. Alih-alih dianggap sebuah sikap menghina kalaupun bermaksud baik”.

Toleransi jelas bukan asimilasi. Toleransi adalah sebuah penghormatan terhadap keberadaan agama lain dalam keberlainan mereka. Dengan begitu dialog dan perjumpaan antar-agama dapat harmonis tanpa harus mengorbankan kekhasan dari keyakinan masing-masing.

Searah dengan konsep Tasamuh dalam Islam, sebagai akhlak terpuji menghargai sesama manusia dalam batas-batas yang digariskan oleh ajaran Islamtanpa perlu saling bersinggungan. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version