View Full Version
Sabtu, 29 Dec 2018

Reformasi Tanggap Bencana Dengan Islam

Oleh: Ruruh Anjar

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Pada 22 Desember 2018 telah terjadi bencana alam dan musibah akibat tsunami di area Provinsi Lampung dan Banten.  Banyak korban berjatuhan serta kerugian material dan non material yang tidak sedikit.

Berdasarkan informasi dari Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo N., hingga hari Selasa (25 Desember) pukul 13.00 WIB jumlah korban meninggal dunia meningkat menjadi 429 orang meliputi Kabupaten Serang dan Pandeglang (Provinsi Banten), serta Kabupaten Lampung Selatan, Pesawaran, dan Tanggamus (Provinsi Lampung). Selain itu tercatat 1.485 orang luka-luka, 154 orang hilang, dan 16.802 orang mengungsi ke sejumlah daerah (Kompas.com, 25/12/2018).

Analisis sementara yang disampaikan Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Sri Hidayati, terjadinya tsunami tersebut kemungkinan besar dipicu oleh longsoran atau jatuhnya sebagian tubuh dan material Gunung Anak Krakatau, khususnya di sektor selatan dan barat daya (Kompas.com, 25/12/2018). 

Presiden Joko Widodo yang berkunjung ke lokasi bencana di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten pada 24 Desember meminta agar segera dilakukan penanganan pasca bencana serta penyediaan alat-alat deteksi dini gelombang tsunami (Tempo.com, 24/12/2018).

Peristiwa tsunami ini menjadi tambahan catatan bencana alam di Indonesia. Bermula dari Lombok dan Palu-Donggala yang terkoyak, kini Lampung-Banten yang terluka.  Keyakinan bahwa peristiwa ini adalah sebuah musibah yang datang dari Allah, Sang Maha Perkasa, hendaknya menjadikan kita harus memandang bencana dan penanganannya dengan kacamata Islam. Sebuah aturan komprehensif yang diturunkan Allah, Sang Maha Pencipta.

Bencana adalah qadha, sebuah ketetapan yang pasti adanya dan tidak dapat dielakkan oleh manusia. Meski begitu syariat Islam memiliki aturan bagi manusia untuk berikhtiar menghindari marabahaya akibat kelalaiannya dalam penanganan bencana.  Sesungguhnya Allah menjelaskan bahwa kerusakan di daratan dan lautan adalah akibat tingkah polah manusia kala mengelola alam yang tidak seiring dengan ketentuan Allah.

Siapa saja  yang memimpin Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah, mestinya memiliki kesadaran politik penanganan bencana yang tinggi. Manajemen penanganan bencana disusun dan dijalankan dengan berpegang teguh pada prinsip “wajibnya seorang pemimpin melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya.” Begitulah Islam mengajarkan,  sehingga seluruh aspek penanganan tanggap bencana dari hulu ke hilir akan berjalan sesuai aturan Allah.

Indonesia sendiri merupakan wilayah dengan potensi bencana besar yang dapat terjadi.  Seperti gempa dan tsunami karena banyaknya pantai yang berhadapan langsung dengan perbatasan lempeng Indo-Australia dan Eurasia.  Kemudian ancaman letusan gunung berapi karena termasuk  “ring of fire”.  

Namun patut disayangkan, politik bencana ini belum berjalan optimal. Kebijakan tanggap bencana mulai dari penguasaan daerah rawan bencana, peta potensi bencana, pembangunan sarana tanggap darurat, dan pemindahan pemukiman penduduk di area rawan bencana harus mendapat perhatian dan persiapan matang.  Penanganan ini pun harus dilakukan secara menyeluruh dari kesiagaan hingga pemulihan, serta keterkaitan dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan.

Selain itu dibutuhkan SDM untuk proses tanggap darurat yang memadai baik kualitas maupun kuantitasnya, dan ketersediaan sarana-prasarana yang cukup. Salah satu aspek penting lainnya adalah kebijakan penganggaran yang proporsional. Menurut Sutopo Purwo N., anggaran BNPB terus menurun setiap tahunnya. Di satu sisi ancaman meningkat tetapi anggaran bencana menurun (detik.com, 26/12/2018).  

Sehingga mitigasi dan kesiagaan berjalan tidak semestinya.  Meskipun telah disiapkan dana darurat bencana, harus dijaga peruntukan dan keoptimalannya.

Sebagai wilayah yang sudah menunjukkan indikator waspada, Gunung Anak Krakatau sedianya mendapat perhatian prioritas.   Meski diakui itu sesuatu yang sulit, kala pengelolaan pembangunan saat ini masih menggunakan sistem berbasis sekuler.  Meniscayakan aturan Allah kalah dari aturan manusia.

Jika melihat di masa kekhilafahan Umar bin Khattab ketika terjadi gempa, ia berkata kepada penduduk Madinah, “Wahai manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!”

Oleh sebab itu sangat penting diterapkannya sistem berlandaskan akidah Islam dalam mengelola dunia ini, jhususnya tanggap bencana dengan syariat Islam secara sempurna.  Bukan untuk tujuan materi yang fana tetapi rida Ilahi. Berharap beroleh keberkahan dari langit dan bumi. Hingga tak perlu Allah kembali memerintahkan alam untuk menegur kita berkali-kali.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS Al-A’raf: 96). Wallahua’lam bishshowwab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version