Oleh:
Husna Fauziyah
BARU-BARU ini publik dihadapkan pada pemberitaan tentang berhasilnya Indonesia "merebut kembali" Freeport dengan naiknya kepemilikan saham PT Inalum (Persero) di PT Freeport Indonesia (PTFI) dari 9,36 persen menjadi 51,23 persen. Untuk membeli saham PT Freeport Indonesia (PTFI) itu, pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) akhirnya merogoh Kocek sebesar US$ 4 miliar atau setara dengan Rp Rp 58,4 triliun (US$ 1=Rp 14.600).
Padahal, sudah diketahui bersama tanpa ditandatangani perjanjian itu pun kepemilikan Freeport akan otomatis menjadi 100% milik Indonesia dengan gratis. Pasalnya, kontrak dengan PTFI habis di tahun 2021. Ini artinya dengan diam saja pun Freeport akan kembali menjadi milik Indonesia. Namun anehnya, negara ini justru menandatangani perjanjian yang isinya memaksa Indonesia membayar apa yang menjadi miliknya sendiri.
Selain itu, dengan ditandatanganinya perjanjian ini, pemerintah justru memperpanjang kontrak yang baru dengan menerbitkan IUPK dengan masa operasi maksimal 2x10 tahun sampai tahun 2041. Ini jelas tidak mengakhiri penguasaan Freeport McMoran atas PTFI.
Oleh karena itu, adalah suatu penyesatan publik jika dikatakan hal ini adalah keberhasilan. Karena prosentase 51 % di tangan pemerintah dan 49 % di tangan MacMoran tidak berbeda jauh. Terlebih lagi, mengapa justru kita yang harus membayar 51 % untuk sesuatu yang menjadi milik negara kita sendiri.
Selain itu, hal ini tentu tidak bisa disebut keberhasilan karena dana yang dibayarkan Inalum didapat dengan menggunakan global bond yang artinya utang dari luar negeri. Semua di dapat dari hasil hutang bukan dari APBN yang harus dibayar dengan dollar dikemudian hari. Freeport tetap dikuasai asing.
Inilah sistem demokrasi-kapitalis yang gagal melindungi aset umat. Padahal ada aturan dalam Islam yang menjadi solusi yang bisa diterapkan negri ini. Nabi SAW menyebutkan, bahwa “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang dan api.” Karena itu, status tambang ini jelas merupakan milik umum, dan harus dikembalikan ke tangan umat . Dalam Islam, haram hukumnya penguasaan tambang yang jumlahnya melimpah dikuasai oleh swasta. Negara yang menerapkan syariah Islam, khilafah Islam, tidak akan mengijinkan penguasaan swasta, apalagi asing, terhadap aset umat.
Dengan tidak diijinkannya swasta menguasai sumber daya alam yang melimpah, Tidak akan ada kasus seperti ini dimana negara membeli miliknya sendiri. Tak akan ada lagi pemilik rumah yang justru membayar isi rumah yang dicuri pencuri.*Pemerhati politik tinggal di Bandung, Jawa Barat