Oleh: M Rizal Fadillah
Penyitaan buku buku bernafaskan komunisme dari toko buku di Kediri oleh aparat TNI diprotes anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP. Protes yang pantas bagi seorang aktivis yang gencar membela komunisme dan PKI.
Akan tetapi tidak pantas bagi anak bangsa yang sadar bahwa PKI adalah organisasi terlarang dan penyebaran faham Komunisme, Marxisme, Leninisme adalah terlarang pula di Indonesia.
Dasarnya sangat kuat yaitu Ketetapan MPRS No XXV Tahun 1966 dan UU No 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Pasal 107 KUHP. Usaha pencabutan larangan ini telah gagal. Negara Pancasila tetap melarang PKI dan penyebaran faham Komunisme, Marxisme, Leninisme.
Oleh karena itu langkah konkrit yang dilakukan aparat TNI di Kediri bukan saja tepat tapi juga dalam rangka menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya protes kader PDIP Eva Sundari yang aneh dan menimbulkan pertanyaan masyarakat tentang kiprah orang atau tokoh yang selalu berada di garda terdepan dalam pembelaan PKI dan pengembangan ajaran Komunisme.
Wajar masyarakat khawatir semakin percaya dirinya para pembela PKI ini sebagai bukti dari bangkitnya PKI dan menguatnya spirit pengembangan faham Komunisme di Indonesia. Di sisi lain, ada pejabat tinggi di Negara Pancasila yang dengan percaya diri menyatakan PKI dan pengembangan ajaran Komunisme itu sama sekali tidak ada. Ada pula yang menyatakan PKI bukan ancaman. Ada permainan apa di balik semua ini ?
Munculnya kader Partai Politik yang secara terang terangan membela dan kadang memutarbalikkan fakta sejarah PKI dan Komunisme, menyebabkan munculnya sorotan masyarakat pada Partai tersebut. Ini adalah risiko politik karena memelihara kader kader yang selalu ke depan dalam urusan advokasi PKI. Bahkan dengan penuh percaya diri membuat buku "Aku Bangga Menjadi Anak PKI".
Partai tidak usah marah pada publik, justru rakyat yang menuntut partai agar membersihkan diri dari figur figur pencemar tersebut. Sudah menjadi komitmen rakyat dan bangsa Indonesia bahwa PKI adalah musuh Negara dan Komunisme adalah faham yang berbahaya. Karenanya dilarang.
Revolusi mental adalah slogan Aidit. Yang dimaknai belum suksesnya Revolusi Mental sebelum masyarakat jauh dari Agama. Agama adalah candu dan orang beragama dianggap berpenyakit mental.
PKI memusuhi Agama. Komunisme adalah pemberhalaan materi, tak ada nilai ghaib, iman, atau syari'at. Yang ada adalah aturan transaksional. Tak ada moral, yang ada segala cara dibenarkan agar tujuan tercapai. Maka tak aneh PKI memperjuangkan ideologinya dengan tak berperikemanusiaan, biadab dan masa bodoh dengan aturan dan nilai.
Lanjutkan operasi pengawasan dan penyitaan buku buku faham Komunis, Marxis, dan Leninis. Rakyat akan mendukung. Jangan rusak masyarakat dengan peracunan faham yang menyesatkan dan merusak ini. Kemiskinan, kesenjangan, dan otoritarian kekuasaan menjadi atmosfir subur bagi bangkitnya PKI dan Komunisme.
Diawali dengan proses edukasi dan sosialisasi, lalu penyusupan kader di lembaga politik dan aparatur, lalu dengan dukungan Komunisme Internasional maka ia akan mencari momentum untuk melakukan perebutan kekuasaan. Biasa skim perjuangannya tak keluar dari itu.
Umat beragama, khususnya umat Islam merupakan kekuatan perlawanan yang ditakuti. Bersama TNI dan aparat keamanan lain perlu meningkatkan kewaspadaan dan kebersamaan. Pecah belah adalah strategi klasik pemenangan. Tahun 2019 adalah momentum politik untuk memperkokoh daya tangkal.
Benamkan politisi pembina dan pembela PKI dan Komunis. Presiden mesti sadar dan berkomitmen pada pemberantasan faham Komunisme. Ketika kini suasana semakin nyaman bagi bangkitnya PKI dan pengembangan faham komunisme, nampaknya kita butuh Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Presiden dan Wakil Presiden yang segar dan berjiwa demokratis, nasionalis, dan agamis.
Tutup rapat pintu masuk PKI dan Komunisme. Selamatkan bangsa dan Negara. [syahid/voa-islam.com]