Oleh: M Rizal Fadillah
Berita pembatalan KPU tentang penyampaian visi dan misi Capres dan Cawapres dilanjutkan pembocoran pertanyaan panelis dalam debat dua pasangan, patut disayangkan. Akan ada yang menilai bahwa sandiwara sepertinya mulai dimainkan.
Obyektivitas KPU semakin disorot. Atau sesi ini hanya tampilan asal asalan dan hiburan? Seharusnya tentu tidak, sebab publik justru pada tahapan ini bisa memberikan penilaian tentang kemampuan kandidat. Bahan penting untuk menentukan siapa yang memang paling layak memimpin Negara Republik Indonesia untuk lima tahun ke depan.
Sejak awal kekhawatiran rakyat akan terjadinya kecurangan pemilu itu tinggi. Ini bercermin pada pemilu tahun 2014 yang lalu yang mengantarkan pasangan Jokowi-JK ke istana. Dari masalah penggelembungan suara, penyedotan, permainan Quick Count, hingga pertanyaan atas wafatnya ketua KPU Husni Malik.
Sulit menilai pemilu Pilpres 2014 itu bersih. Namun semua telah terjadi. Kini rakyat menginginkan Pemilu 2019 yang lebih baik, bersih, dan sukses. Begitu kuat harapan dititipkan pada Tim KPU dan Bawaslu yang baru.
Akan tetapi dengan kasus tercecernya e-KTP, jutaan DPT bermasalah, dan pengubahan kotak suara menjadi berbahan kardus, telah menimbulkan kekhawatiran baru lagi. Suatu hal yang wajar saja. Ditambah dengan "kasus kontainer" yang berimplikasi luas. Polri diuji untuk mengusut pokok bukan ikutan.
Masyarakat harus tahu motif dari permainan yang menimbulkan korban politik ini. KPU pun dituntut untuk menutup celah pandangan negatif. Meyakinkan rakyat bahwa kinerjanya tidak meragukan. Bukan secara emosional menyikapi apa yang menjadi nada skeptik publik.
Pembatalan penyampaian visi misi dengan alasan "tak ada kesepakatan" kurang tepat, sebab jika sudah diekspose dan diagendakan, maka KPU berwenang menetapkan mekanisme sendiri. Tentu logisnya penyampaian dilakukan oleh para kandidat.
Ini sesuai aspirasi masyarakat. Begitu juga dengan ada pembocoran soal untuk acara debat, telah menimbulkan asumsi bahwa KPU memproteksi kandidat yang memang kurang siap. Agak aneh debat dengan soal yang diberitahu dulu seperti ini. Petahana secara normatif semestinya lebih menguasai.
Mereka adalah Calon Presiden dan Wakil Presiden. Mesti siap untuk setiap keadaan. Tak bisa semua harus dialas oleh asisten atau konseptor. Fair saja tampil apa adanya, rakyat yang menilai keluguan atau kebodohan, kecerdasan atau keculasan, akurat atau sekedar mengeles. Semua diuji depan publik. KPU tak boleh memihak.
Sangat terkesan KPU kini goyang. Gawatlah pemilu khususnya pemilu Pilpres jika penyelenggara tidak ajeg. Asas kedaulatan rakyat dapat tercuri akibat goyang nya penyelenggara. Pencurinya bisa partai politik, pengusaha, penegak hukum, ataupun pihak asing. Jika pada proses menentukan kepemimpinan bangsa saja sudah disetir oleh para pencuri, maka mungkin akan benar ungkapan seorang sastrawan "Ini bangsa maling..!"
Marwah negara berdaulat dan bermartabat menjadi hilang, yang ada adalah kesibukan para pencuri yang sedang mengobrak abrik negeri. KPU jangan goyang, mesti mandiri dan menjadi wasit yang adil dan tegas. Sejarah akan mencatat apakah KPU kini diisi oleh para pejuang yang berkontribusi bagi kemaslahatan rakyat banyak atau pecundang yang integritas dirinya telah terbeli dengan harga yang "murah".
Semoga pemilu bukan ajang bisnis. Ini sarana untuk menentukan masa depan bangsa yang lebih baik. [syahid/voa-islam.com]