View Full Version
Kamis, 10 Jan 2019

Orla di Masa Jokowi

Oleh: M Rizal Fadillah

Serangan kepada pasangan Prabowo Sandi sebagai representasi Orde Baru sangatlah tidak relevan. Faktanya visi misi keduanya tidak bernuansa semangat tersebut. Pendukung utama Prabowo Sandi adalah partai-partai reformasi.

Partai Golkar mesin kunci Orde Baru malah sekarang ada di kubu Jokowi-Ma'ruf. Prabowo sendiri sebagai keluarga istana terpaksa harus "hijrah" ke Yordania karena tak sejalan dengan mertuanya. Sahabat dekatnya dari dahulu adalah Amien Rais yang dikenal sebagai "penumbang" Orde Baru.

Jadi serangan ini aneh dan mengada ada. Yang merasa dendam pada Orde Baru tentu Orde Lama. Nah adakah penumpang penumpang gelap kekuatan lama di rezim Jokowi ini? Kita tidak bahas dan tak mengait dengan Megawati yang putera "bapak" Orde Lama. Kebijakan politik pemerintahan Jokowi yang membuka peluang muncul dan berkiprahnya anasir anasir Orde Lama itu untuk "come back".

Peluang itu muncul karena di masa Jokowi terjadi penguatan poros Jakarta-Beijing. Hubungan ekonomi baik hutang maupun investasi menonjol sekali. Hutang luar negeri terbesar dari Negara Cina. Investasi yang dibarengi dengan invasi tenaga kerja Cina luar biasa.

Hubungan politik yang ditampilkan adalah akrabnya pemerintahan kedua negara. Partai Komunis Cina (PKC) membuat sejarah dengan berkunjung ke Istana Presiden. Kader partai dididik terang terangan di markas Partai Komunis Cina. Perwira polisi KKN khusus di Beijing. Kerjasama polisi Cina dan Indonesia di perbatasan. Kasus penindasan Muslim Uyghur yang dinilai kejahatan kemanusiaan disikapi dingin. Tak ada pernyataan menyesalkan apalagi mengutuk.

Peluang juga muncul karena kebijakan politik yang semakin otoriter. Akademisi Australia Tom Power, Phd menyatakan Jokowi semakin otoriter karena menggunakan alat penegak hukum untuk bertindak represif kepada civil society dan oposisi.

Membubarkan HTI dengan Perppu. Kelompok Islam politik kritis di HTI kan. Dengan sikap otoriter ini pendompleng kekuasaan lebih bebas bergerak. Melalui laporan tentang "hoax" atau "ujaran kebencian" aktivis pun diproses. Ini bisa dinilai sebagai teror politik. Terorisme negara sering disebut sebagai penakut rakyat yang efektif.

Para pengambil keuntungan dengan kebijakan ini melakukan penyusupan, bersuara lantang membela PKI, serta mengembangkan faham kekiri-kirian. Bebas pula memojokkan nilai keagamaan atau memilih dan memilah kelompok keagamaan yang dirangkul atau dipukul. Oposisi mesti "digebuk" sedangkan pendukung apalagi penjilat dirangkul erat.

Orde Lama menemukan ibu yang memanjakan. Nyaman dalam pelukan. Reformasi dianggap gagal dan mesti dinafikan, Orde Baru dijadikan isu musuh yang membahayakan, sementara Orde Lama menemukan momentum kebangkitan. Gerakan anti kebhinekaan dan waspadai radikalisme jadi slogan untuk menutupi praktek kekuasaan yang berpola Demokrasi Terpimpin.

Tahun ini adalah tahun politik. Harapan terjadinya perubahan yang lebih signifikan. Perlu membuat "skak mat" Raja Hitam yang Menterinya gemar memakan perwira dan pion-pion putih. Jangan buat remis apalagi kalah, karena sesal kemudian tak berguna. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version