View Full Version
Jum'at, 11 Jan 2019

Prostitusi Tiada Henti, Adakah Solusi?

Oleh: Yauma Bunga Yusyananda*

Beberapa hari ini, banyak berita membawa nama artis terkenal yang diduga masuk jaringan prostitusi. Tahun 2014 yang lalu, berita yang sama mencuat dengan nama artis yang tidak asing didengar masyarakat. Sebut saja inisialnya NM. Namun sangat disayangkan ketika masyarakat hanya fokus pada aib manusianya, dan bukan menjadikan kondisi ini untuk mencari yang harus dibahas.

Dalam sejarahnya prostitusi di Indonesia sudah ada sejak era penjajahan. Indonesia memiliki titik-titik sentral prostitusi dan menjadi bisnis lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Sebut saja Kalijodo, Dolly, Saritem hingga Alexis yang semuanya itu oleh pemerintah ditindaklanjuti dan sudah ditutup. Kini, tempat-tempat tersebut telah berubah wajahnya menjadi ruang terbuka untuk masyarakat atau tidak beroperasi lagi.

Masih banyak yang kita tidak tahu tentang bisnis lokalisasi prostitusi ini. Nyatanya, Indonesia saat ini merupakan negara yang memiliki banyak titik prostitusi atau lokalisasi yang tersebar di berbagai kota. Berdasarkan berita di metrotvnews.com, ada sebanyak 168 titik lokalisasi dengan 30 ribu pekerja. Di tahun ini saja, pemerintah mencanangkan program agar tahun 2019 menjadi tahun Indonesia bebas lokalisasi prostitusi (metrotvnews.com). Kenyataannya, di awal tahun 2019 ini, kasus-kasus semakin mencuat dan kontroversial.

Gerak cepat pemerintah menangani kasus lokalisasi prostitusi ini memang perkara yang tidak mudah. Selain tuntutan ekonomi, ada tekanan dari pengaruh gaya hidup para pelakunya yang sangat bebas serta memiliki kerangka berpikir untuk mendapatkan uang secara cepat. Dan lagi, ada pemikiran seorang praktisi perpajakan yang sangat kontradiktif ketika menjadikan prostitusi sebagai bisnis untuk pemasukan pendapatan negara. Beliau mengatakan kalau prostitusi dijadikan aspek perpajakan maka keuntungannya hingga 30 persen. Dan parahnya lagi, beliau menyarankan bahwa petugas pajak seharusnya bisa fokus untuk mencari penerimaan negara yang bersumber dari apapun yang dikenakan pajak.

Sungguh ironis, jika perkataan praktisi tersebut diindahkan oleh aparat negara. Kita semua mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara yang mayoritasnya adalah kaum muslim. Seharusnya, negeri ini tidak mengambil apapun yang menguntungkan negara dari hal yang sangat bertentangan dengan adab dan moral Islam.

Dengan terungkapnya kasus-kasus prostitusi sendiri seharusnya Indonesia malu, karena masih membebaskan para rakyatnya berbuat amoral yang bertentangan dengan nilai-nilai negerinya sendiri. Selain itu, konten-konten yang memuat tentang pornografi pun bisa jadi pemicu bagi para masyarakat untuk memenuhi hasratnya dan datang ke tempat-tempat lokalisasi.

Prostitusi ini bukan barang baru. Seharusnya aktivitas ini bisa dihilangkan, jika semua mau bekerja sama untuk menjadikan negeri ini lebih baik dan taat aturan baik secara hukum maupun adab. Hal ini bisa dimulai dari menutup konten-konten tidak pantas di media dan berhenti untuk memiliki gaya hidup yang hedonis. Pemerintah wajib menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk kebutuhan masyarakat sebagai salah solusi selain prostitusi.

Di dalam Islam yang seharusnya menjadi pandangan hidup mayoritas masyarakat Indonesia, perempuan sejatinya bukan menjadi bahan eksploitasi atau seringnya dipekerjakan. Itu merupakan penghinaan dan sangat merendahkan harga diri perempuan. Perempuan merupakan sosok yang seharusnya dilindungi serta dijaga.

Perempuan yang baik akan mampu memainkan perannya sebagai istri yang taat, sebagai penyejuk mata di dalam rumah dan penyelamat dari api neraka jika ia merupakan anak yang shalihah bagi kedua orangtuanya. Islam bukan ingin mengekang keberadaan perempuan di muka bumi. Namun Islam menjaga perempuan agar generasi selanjutnya terjaga juga. Islam menjaganya dengan aturan, karena jika Islam yang menjadi pandangan hidup manusia, hasrat-hasrat seksualitas ataupun potensi ke arah itu akan diatur.

Tidak ada namanya lokalisasi prostitusi. Karena dengan terus mempertahankan kemaksiatan, baik pelaku, penyedia atau yang mengelola termasuk pun negara yang menyediakan ikut menanggung dosa. Teguran apalagi yang ingin manusia datangkan dari Allah, apakah hingga menunggu adzab yang pedih secara langsung?

Sudah sangat jelas, bahwa pengaturan hidup sebaiknya dikembalikan lagi kepada aturan dari Sang Pencipta yakni Islam. Karena aturan yang dibuat oleh manusia hanya berdasarkan dari perasaannya saja yang dirasa seolah benar, namun mengambil keuntungan secara semu dan mampu membinasakan yang lain. Sehingga terjadi kerusakan dalam segala aspek kehidupan ketika manusia tidak kembali kepada aturan Allah SWT. Wallohu’alam bi ash shawab. (rf/voa-islam.com)

*Penulis adalah mahasiswa UPI

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version