Oleh: M Rizal Fadillah
Pembebasan Ust Abubakar Ba'asyir menimbulkan kegaduhan. Tokoh kharismatik yang oleh penguasa dipredikatkan "teroris" ini memang menjadi perhatian nasional yang sedang sibuk dalam proses penghelatan politik.
Sementara dunia juga ikut berteriak, terutama Australia. Sikap tegas "pada prinsip" Ust Ba'asyir turut menjadikan pembebasannya menjadi magnet perhatian.
Tokoh sepuh ini memang unik, kuat pendirian, serta masih merasa jadi korban stigma terorisme. Dalam salah satu ceramahnya yang diunggah di medsos disampaikan bantahan dirinya sebagai teroris. Membunuh seorang pun tidak pernah, memegang dan melihat bom juga tidak, ujarnya.
Hukuman 15 tahunnya pun dihubungkan dengan pendanaan saja. Tapi dimaklumi memang isu terorisme ini sangat menarik rakyat dan dunia. Figur menjadi paket kebutuhan dari keberadaan isu itu. Muslim menjadi sasaran. Lihat saja seorang Kyai Ma'ruf pun saat acara debat KPU di TV begitu kencang mengarahkan pandangan terorisme pada umat Islam ini.
Ada empat kepentingan yang "tertarik" oleh medan magnetik Ba'asyir, yaitu :
Pertama, Presiden Jokowi yang maju sebagai kandidat Calon Presiden untuk periode kedua. Berkepentingan untuk menarik suara umat Islam. Dengan otoritas politik yang dimilikinya menerobos kebuntuan antara aturan dan pendirian sang Ustadz. Melalui utusannya Pengacara Jokowi Ma'ruf Yusril Ihza Mahendra "misi pembebasan" dilakukan. Dalam upaya kepentingan ini jasa dicitrakan tentu saja pada pengacara Jokowi Ma'ruf.
Kedua, para pengacara Ba'asyir yang tergabung dalam TPM dipimpin Mahendradatta. Sejak awal mendampingi berikhtiar untuk membebaskan pula melalui mekanisme hukum yang ada.
Menurutnya pembebasan bersyarat semestinya sudah didapat Ustad Ba'asyir sejak 23 Desember 2018. Terkendala oleh sikap klien yang tidak bersedia menandatangani Surat Pernyataan "Kesetiaan pada NKRI". Ba'asyir memilih untuk tetap mendekam di penjara. Baginya hanya ada kesetiaan pada Islam.
Ketiga, para Jokower radikal termasuk pandangan PDIP sebagaimana dikemukakan oleh Sekjen PDIP yang berkeberatan pada pembebasan ini jika yang bersangkutan tetap tidak bersedia mendatangani surat pernyataan kesetiaan NKRI. Minta untuk "keluar saja" dari Indonesia.
Meskipun demikian nadanya memaklumi pada alasan "kemanusiaan". Ada pula elemen lain yang "complain" pada Yusril yang dianggap tidak bermusyawarah terlebih dulu dengan Tim Jokowi Ma'ruf.
Keempat, sikap di luar Indonesia terutama Australia yang warganya banyak menjadi korban "Bom Bali". Bagi negara ini tidak bisa diterima alasan apapun atas pembebasan "teroris". Mereka menghendaki Ba'asyir tetap di penjara hingga waktunya.
Tak peduli bahwa tak ada bukti keterkaitan bom Bali dengan Ba'asyir. Teroris tak bisa ditolerir. Sikap ini dijawab oleh pejabat Indonesia bahwa soal keputusan pembebasan menjadi sikap negara Indonesia yang berdaulat. Tak bisa dicampuri.
Di tengah tarik menarik itu, Ba'asyir menjadi tokoh yang menarik. Ulama sepuh ini sendiri yang akan menjadi penentu. Jika saja benar Ustad Ba'asyir menarik pembebasannya dan menunda hingga usai Pilpres, maka selamat lah.
Namun menjadi bukti gagalnya misi politik pembebasan Istana via Yusril. Jika siap dibebaskan dengan syarat dan aturan yang dilabrak, maka dengan "diam" tentu masih dalam konteks misi berhasil. Tapi jika ternyata "bernyanyi" merdu untuk tidak mendukung Jokowi. Maka pembebasan jadi "boomerang". Apalagi memberi dukungan pada Prabowo Sandi.
Aspek lain mungkin saja karena adanya tekanan yang kuat pembebasan tanpa syarat ini pun bisa batal.
Tapi memang masalah selalu menjadi rumit jika ada niat yang tidak ikhlas. Terlalu sarat dengan kepentingan politik. Alasan "Kemanusiaan" itu memang terpuji jika benar.
Namun jika pembebasan targetnya menjadi "komoditas politik" maka yang terjadi adalah malapetaka. Ramai tak menentu. Entah siapa yang rugi dalam hal ini. Hanya pepatah sering mengingatkan "Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri !". [syahid/voa-islam.com]