Oleh: M Rizal Fadillah
Buku M Amien Rais yang dilaunching baru baru ini berjudul "Hijrah : Selamat Tinggal Revolusi Mental Selamat datang Revolusi Moral".
Informasi dari media, buku itu mengkritisi Pemerintahan Jokowi yang telah gagal merealisasikan program Revolusi Mental yang dicanangkannya. Kegagalan diawali dengan pengkritisan bahwa tidak ada dokumen otentik dan arah yang jelas mengenai apa dan bagaimana Revolusi Mental tersebut.
Dalam kesejarahan istilah Revolusi Mental dikemukakan oleh Karl Mark tokoh dan pemikir sosialis komunis dan istilah ini tersosialisasi di Eropa untuk melawan pola kehidupan berekonomi yang kapitalis.
Hal itu juga sekaligus untuk mereaksi aspek keagamaan yang dinilai menghambat komunisme. Istilah ini diangkat kemudian oleh pendiri Partai Komunis Tiongkok Chen Duxiu beserta rekannya Li Dazhao yang programnya adalah cuci otak kaum buruh dan petani. Di Indonesia DN Aidit Ketua CC PKI yang melontarkan istilah Revolusi Mental dan terkenal ucapannya bahwa Revolusi Mental belum dianggap berhasil sebelum masyarakat dijauhkan dari Agama.
Perjuangan kaum sosialis komunis dalam menyukseskan program cuci otaknya ditandai oleh pola kepemimpinan yang otoriter. Tidak mungkin menanamkan keyakinan sosialisme dan komunisme pada sistem politik yang demokratis. Otokrasi adalah keniscayaan. Ciri pokok otoritarianisme adalah pembungkaman oposisi, penguasaan media, serta hukum yang digunakan sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan. Hukum subordinat politik.
Memang Revolusi Mental sosialis komunis semestinya "bebas moral" karena moralitas merupakan musuh utama. Asas perjuangannya adalah menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan.
Oleh karenya cukup strategis buku Amien Rais yang mengingatkan perlunya Revolusi Moral sebagai antithesa dari Revolusi Mental yang digembor-gemborkan. Jika dasar pemikiran Revolusi Mental yang dicanangkan kembali adalah sosialisme komunisme maka program ini berbahaya dan bertentangan dengan prinsip bangsa yang telah sepakat dengan ideologi Pancasila.
Revolusi Moral tentu berangkat dari nilai. Baik atau buruk. Dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa maka nilai moralitas yang disandarkan adalah nilai-nilai ketuhanan, nilai immanent, nilai nilai Ilahiah.
Agama menjadi tolok ukur. Dan ketika nilai-nilai moral itu memiliki parameter pada nilai nilai kemanusian, maka nilai harus berdasarkan pada "kemanusiaan yang adil dan beradab" bukan pada kebebasan yang berujung kezaliman dan kebiadaban. Negara Pancasila adalah negara bermoral. Revolusi Moral tak lain adalah pengejawantahan dari iplementasi ideologi negara secara konsisten.
Bukan seperti DN Aidit yang membuat buku "Membela Pantjasila" hanya sebagai tameng politik dan cermin dari kemunafikan saja. Buku dibuat tahun 1964 setahun sebelum mekakukan percobaan kudeta untuk mengubah ideologi Pancasila. Kebohongan yang luar biasa. Layak Aidit digelari Bapak Hoaks Indonesia.
Untuk menghidari perilaku hoaks dalam bingkai kenegaraan yang cukup intens saat-saat ini, maka moralitas harus dikedepankan. Revolusi Moral adalah perlawanan terhadap "Hoax Culture" yang berkembang. Himbauan dan fatwa ternyata tak cukup kuat untuk menghadapi, harus dengan semangat revolusi. Revolusi Moral. [syahid/voa-islam.com]