View Full Version
Jum'at, 01 Feb 2019

Korban Bertambah

Oleh: M Rizal Fadillah

Vonis Hakim Pengadilan dalam kasus Ahmad Dhani berdimensi ganda. Pertama wajar dan kedua mengejutkan. Wajar karena ini adalah putusan tingkat pertama 1,5 tahun yang bisa dilakukan proses banding. Ada perjuangan lanjutan.

Mengejutkan karena ada perintah langsung masuk penjara, artinya kini Ahmad Dhani ditahan. Kasus yang dihadapi adalah cuitan di twitter yang isinya sebenarnya hal yang biasa beredar di medsos. Bahkan yang dilakukan oleh yang lain bisa jauh lebih vulgar.

Putusan hukum ini sangat sarat politis. Dhani korban pasal ujaran kebencian. Alat hukum paling empuk kekinian untuk membungkam ekspresi politik kritis.

Ahmad Dhani masih pula harus menghadapi kasus vlog "idiot" di Surabaya saat dirinya dipersekusi tak bisa keluar dari hotel tempatnya menginap. Permasalahan hukum yang didera Dhani menjadi bagian dari "korban politik" dengan menggunakan alat hukum.

Aktivis, seniman, ulama , jurnalis yang memiliki sikap kritis dan oposan pada pemerintah menjadi target. Sebelumnya Pardede, Alfian Tanjung, Bambang Tri, Jonru, Gusnur, Dahniel, Habib Bahar dan tentu saja Rizieq Shihab. Amien Rais pun pernah diperiksa. Kini sebagaimana beredar di media, Rocky Gerung mulai mendapat panggilan Polisi.

Kepada oposisi pisau hukum sangat tajam, kepada pendukung atau orang dalam lingkaran hukum tumpul. Padahal sama saja perbuatan yang dilaporkan. Kasus Victor Laiskodat, Sukmawati, Abu Janda, Royson Jordhani, penyerang Novel dan Hermansyah, atau Ade Armando tak jelas juntrungnya. Megawati pun dilaporkan atas ujaran "tak percaya akherat" nya. Sebuah lembaga advokasi mengaku telah melaporkan 30 kasus yang tak diproses. Tebang pilih kasus seperti ini adalah cermin dari ketidakadilan hukum.

Rezim Jokowi dinilai sebagai rezim yang represif, membungkam oposisi dengan perangkat hukum. Hukum tidak mandiri tapi kepanjangan tangan dari politik. Mereka yang belajar hukum mesti ingat pada simbol "dewi keadilan" dimana tangan yang satu membawa timbangan dan tangan lain membawa pedang. Matanya tertutup.

Keadilan tidak pandang bulu. Namun kini simbol itu seperti telah berubah. Jika tidak kedua tangan yang membawa pedang, maka timbangan telah diganti uang. Lalu sang "dewi" telah berubah pula menjadi "dewa" yang membelalakkan mata. Penuh ancaman. Mata liar yang dikendalikan oleh kekuasaan dan uang.

Jika gaya berkuasa tidak diubah dan pola penanganan hukum masih berat sebelah, Maka ke depan korban korban ketidak adilan akan terus bertambah. Catatan hitam semakin tebal. Sejarah yang diajarkan disekolah-sekolah kelak akan sampai pada fase gelap ini.

Moga kita sadar untuk mewariskan ceritra kegemilangan kepada generasi yang akan datang. Bukan ceritra kelam dari ketidakadilan politik dan hukum. Jejak yang memang sulit untuk dihapus. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version