View Full Version
Senin, 04 Feb 2019

Jangan Pecah Ukhuwah dengan Ashabiyah

Oleh: Dini Azra

Pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Said Aqil siradj, akhirnya menjadi polemik. Hal itu bermula ketika dia memberi sambutan di harlah Muslimat NU ke 73 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, dalam orasinya itu ada kalimat yang menyinggung perasaan umat.

Di acara yang juga dihadiri oleh Presiden dan Ibu Negara beserta beberapa orang Menteri juga tokoh-tokoh lain , beliau menyampaikan bahwa masyarakat NU harus berperan di berbagai bidang, salah satunya bidang keagamaan.

"Berperan di tengah masyarakat. Peran agama. Harus kita pegang. Imam masjid, khatib, KUA (kantor urusan agama), harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua," tutur Said lalu tertawa kecil yang diikuti hadirin yang mendengar. (CNN Indonesia 27/1/2019)

Kalimat yang terakhir itu menjadi ramai diperbincangkan, karena seolah beliau ingin mengatakan harakah di luar NU semuanya salah, hanya NU yang boleh mengurus masalah keagamaan ditengah masyarakat. Bayangkan saja, dari mulai imam masjid, khatib, KUA harus orang NU. Apakah ini bentuk kesombongan ataukah serakah akan jabatan? Hal itu pun menuai kritik , dari tokoh Muhammadiyah Anwar Abbas. Beliau menyesalkan ucapan Said Aqil Siradj tersebut, karena berpotensi membahayakan persatuan dan kesatuan umat juga tidak mencerminkan akal sehat.

"Saya sesalkan. Pernyataan ini jelas tidak mencerminkan akal sehat. Saya yakin pernyataan ini adalah pernyataan dan sikap pribadi dari Said Aqil Siradj dan bukanlah sikap dari NU," kata Anwar Abbas dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/1).(CNN Indonesia/28/1/2019)

Anwar Abbas menyatakan bahwa yang dia sampaikan ini murni dari dirinya pribadi. Bukan kapasitasnya sebagai salah satu Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Sekjen MUI.  Dia meminta supaya Said Aqil Siradj menarik kata-katanya tersebut dan meminta maaf.

Namun, Said Aqil Siradj menolak untuk menarik ucapannya dan meminta maaf. Sebab dia merasa tidak ada yang salah dengan apa yang disampaikannya saat itu. Selain itu menurutnya NU adalah organisasi Islam yang independen. Sementara MUI hanyalah forum silaturahmi ulama lintas ormas Islam, bukan induk NU.

“Sekjen majelis ulama meminta saya mencabut ungkapan saya kemarin, saya atau NU bukan bawahan ulama, tidak ada hak mereka perintah-perintah saya,” kata Said lantang saat membuka acara Rakornas Lembaga Dakwah Nahdahtul Ulama (LDNU) se-Indonesia di Auditorium Binakarna, Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin (28/1). Lebih jauh dia mengaku tidak takut kepada siapapun.

Hal itu wajar, karena memang bukan sekali ini saja beliau ini mengucapkan hal yang mengundang kontroversi, tanpa pernah merasa bersalah. Sudah sering kita mendengar dari lisannya, menjadikan ajaran agama sebagai bahan candaan, terkadang menjelekkan harakah lain yang tidak sepaham. Beliau tidak pernah menyesal apalagi meminta maaf? Padahal meminta maaf adalah perbuatan mulia yang dianjurkan Nabi Shalallahu alaihi wassalam, bukan sesuatu yang bisa merendahkan seseorang. Kecuali bagi orang yang memiliki sifat sombong, merasa diri lebih tinggi dan merendahkan selainnya.

Yang harus kita pahami bahwa ucapan tersebut tidak mewakili sikap seluruh warga NU seluruhnya, melainkan kekhilafan individu. Sehingga kita tidak boleh terpancing, dan mengambil sikap yang bisa merusak ukhuwah Islamiyah diantara sesama muslim. Baik bagi masyarakat NU sendiri ataupun dari harakah yang lain, haruslah bersikap bijaksana, tidak boleh mencela semaunya ataupun membela dengan membabi buta. Bersikaplah obyektif, tidak memihak kepada sesuatu yang salah, hanya karena ashabiyah terhadap seorang tokoh agama .

"Perhatikan apa yang disampaikan , jangan melihat siapa yang mengatakan." Begitu seharusnya yang kita lakukan, karena kita dilarang untuk ashabiyah terhadap seseorang, kelompok, suku, madzhab ataupun negara. Ashabiyah (fanatik buta) artinya membela dan mengikuti pihak yang dijadikan obyek ashabiyahnya.

Baik yang diikuti itu benar ataupun salah tetap saja dianggap benar. Sikap ashabiyah inilah yang dapat membuat ukhuwah jadi terpecah belah. Mudah diadu domba, dibenturkan, saling mencaci-maki hanya karena beda pemahaman dan uslub dalam berdakwah. Padahal Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam pernah bersabda :

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).“

Bagi umat Islam sandaran kebenaran adalah Alquran dan Sunnah Nabi Shalallahu alaihi wassalam, sebagai warisan yang beliau tinggalkan. Ketika ada perselisihan, solusinya adalah kembali pada keduanya. Bukan pada gelar ulama, atau gelar akademik yang melekat pada diri seseorang. Begitupun fanatik terhadap golongan, harakah, bahkan negara.

Tidak boleh kita mengatakan bahwa kelompok kitalah yang paling benar, dan yang lain adalah salah. Seolah hanya pengikut kelompok ini yang berhak atas surganya Allah Subhanahu wataala, dan yang lain tidak . Sampai-sampai ada slogan hidup mati untuk "harakah", bela ulama sampai mati ! Meskipun yang dibela dalam posisi bersalah, melakukan pelanggaran syariat.

Tidakkah kita mendengar bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam pernah bersabda: "Barangsiapa yang terbunuh di bawah bendera (fanatisme) buta, mengajak pada ashobiyyah atau menolong karena ashobiyyah (fanatik), maka matinya seperti mati Jahiliyyah (H.R Muslim)

Fanatik yang dibenarkan hanyalah terhadap Allah dan Rasul Nya, dengan berupaya mengamalkan syariat Nya dalam kehidupan .Tidak pakai tapi dan tanpa menunggu nanti, ketika syariat menetapkan sesuatu itu wajib maka kerjakan, dan bila haram maka segera tinggalkan.

Sami'na wa atho'na, kami dengar dan kami taati. Semoga Allah Subhanahu wataala selalu melindungi dan menjaga ukhuwah Islamiyah diantara kita. Dan menjauhkan dari sikap ashabiyah kepada selain Nya. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version