Oleh:
Ayu Ocky, Aktivis Muslimah Malang
TIDAK terasa saat ini sudah memasuki bulan kedua di tahun 2019, yang artinya waktu pelaksanaan pemilu sudah semakin dekat. Situasi perpolitikan yang ada saat ini pun tidak luput dari persaingan antarpaslon dan pendukungnya yangsemakin intens.
Bahkan, baru-baru ini mulai banyak suara-suara yang bermunculan dari para ulama untuk mendukung paslon yang ada. Salah satunya terkait suara ulama sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar, KH. Maimoen Zubair (Mbah Moen), yang terkesan “diperebutkan”. (iNews TV, 04/02/2019). Hal itu berawal dari kesalahan penyebutan nama dalam pembacaan doa penutup olehMbah Moen ketika Jokowi melakukan silaturrahmi pada acara Sarang Berzikir Untuk Indonesia Maju di Pondok Pesantren Al-Anwar, Rembang, Jawa Tengah pada Jum’at, 1 Februari 2019 (Nasional Tempo, 02/02/19).Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum PPP, Romahurmuziy (Rommy), kemudian membuat video klarifikasi untuk menegaskan dukungan Mbah Moen ditujukan kepada siapa.
Fenomena tersebut menunjukkan betapa pentingnya perolehan suara terutama dari para ulama sebagai sosok yang berpengaruh. Bagaimana tidak, seperti yang diketahui demokrasi menjadikan perolehan suara sebagai metode dalam meraih kekuasaan. Tidak heran jika pihak-pihak yang bersangkutan saling berebut untuk mendapatkan perolehan suara terbanyak. Terlebih, hal tersebut difasilitasi dengan asas kebebasan yang diadopsi oleh demokrasi sehingga segala cara bisa menjadi halal untuk mencapai tujuan.
Hal ini juga menunjukkan bahwa saat ini tidak sedikit ulama yang dieksploitasi dan dijadikan sebagai alat untuk legitimasi kekuasaan menjelang pemilu maupun dalam mengeluarkan kebijakan. Padahal,kedudukan ulama itu sendiri dalam Islam adalah sebagai pewaris ilmu para nabi dan sosok yang seharusnya selalu berada di barisan terdepan dalam mengarahkan kepada ilmu yang benar dan amal yang wajib untuk ditunaikan. Selain itu, ulama juga dikategorikan sebagai orang dengan ketakwaan yang tinggi dengan ilmu yang dimilikinya. Berdasarkan firman Allah, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama” (TQS. Fathir [35] : 28).
Sudah saatnya ulama kembali kepada peran hakikinya sebagai sosok terdepan dalam melakukan muhasabah kepada penguasa dan bukan menjadi alat politik demokrasi demi meraih jabatan maupun kekuasaan. Bahkan, sebagai perantara ilmu, ulama seharusnya mampu mengantarkan kaum muslimin untuk dapat mengetahui kebenaran dari Allah sehingga tidak akan terjatuh pada kebodohan terhadap hukum-hukum-Nya; karena keberadaan ilmu harus ditujukan demi mewujudkan ketaatan kepada Allah.
Rasulullah ﷺpun juga pernah memperingatkan untuk berhati-hati dengan para ulama yang bergandengan tangan dengan penguasa seraya mengorbankan syariat, yakni “Sesungguhnya yang paling aku takuti atas umatku adalah seorang munafik yang pintar” (HR. Ahmad). Wallahua’lam bishawab.*