Oleh: M Rizal Fadillah
Ketika peristiwa 9/11 WTC New York terjadi, tuduhan langsung diarahkan kepada Osama bin Laden dengan Al Qaida nya. Banyak yang meragukan kebenaran tuduhan yang dilakukan AS dan CIA tersebut.
Sebagian meyakini pekerjaan canggih ini dilakukan oleh Zionis Yahudi yang bermain dengan intelijen Amerika sendiri. Tapi tuduhan "strategis" itu tetap berjalan dan stigma teroris dilekatkan pada Osama dan Al Qaida. Dunia Islam diobrak abrik oleh AS dan sekutunya.
Penguasa di dunia Islam berkolaborasi dengan komandan gerakan AS dan operasi anti terorisme. Berbiaya AS pula. Teror ledakan "ini dan itu" di berbagai belahan dunia terjadi. Diduga merupakan bagian dari rekayasa negara induk. Terorisme menjadi "hantu" dunia.
Kejutan terjadi, ternyata tuduhan AS itu bohong. CIA kini menyatakan secara terbuka bahwa tuduhan itu hoax. Direktur CIA Gina Haspel menyatakan permintaan maaf kepada keluarga Osama bin Laden atas tuduhan tidak benar tersebut. Keluarga Osama dijanjikan mendapat ganti rugi sebagai wujud permintaan maaf tersebut. Inilah Hoax besar.
Di Indonesia kini yang sedang mengalami "demam politik" menjelang 17 April. Suhu meningkat dan pilpres menjadi perhatian utama. Pileg mengikuti. Ada semangat tinggi untuk "ganti presiden". Apresiasi publik terus menguat. Petahana bekerja keras untuk membuat ritme strategi. Bertahan atau menyerang.
Yang menarik adalah stigma hoax ikut menyertai. Sekurangnya ada dua peristiwa hoax yang muncul yaitu pengakuan bohong Ratna Sarumpaet dan kedatangan kartu suara "tercoblos" dalam kontainer di Tanjung Priok. Nampaknya permainan politik tinggi sedang bergerak. Mengingat kedua kasus itu belum naik ke proses peradilan, maka publik belum mengetahui duduk perkara sebenarnya.
Cuma yang selalu diangkat dan dituduh menyebarkan hoax adalah pasangan "penantang" dan tentu saja itu dibantahnya. Meski lucu juga "drama" ini sebab jika satu pihak dituduh sebagai penyebar lalu pihak mana yang memang pembuat. Memang kita sedang masuk ke dalam ruang hoax.
Aturan UU ITE yang rawan menimbulkan masalah dan korban adalalah Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik" Ancaman nya penjara 6 tahun dan denda 1 milyar rupiah. UU tidak menjelaskan makna "bohong dan menyesatkan".
UU ITE tidak mengatur sanksi bagi "pelaku" dan apalagi "penuduh" yang tak terbukti tuduhannya. Seharusnya mendapat sanksi yang jauh lebih berat sebagai efek jera. Yang ironi adalah penyebar berita bohong dan menyesatkan bisa diproses pemeriksaan padahal ia saat menyebarkan tidak mengetahui status berita itu bohong atau tidak. Inilah titik rawan "masuknya" bagi kepentingan politik untuk memukul lawan politiknya itu.
Belajar dari kasus "terorisme" yang dikelola apik oleh AS, maka kita tak berharap ada pihak yang juga memainkan isu "hoax" untuk kekuasaan politik.
Kita teringat dahulu jaman PKI yang menggelindingkan hoax "Dewan Jenderal" untuk melindungi upaya percobaan kudetanya yang gagal. Moga bukan "PKI baru" yang juga sekarang memainkan isu hoax di negeri ini. [syahid/voa-islam.com]