Oleh: M Rizal Fadillah
Menarik sekali adegan di Cianjur. Dua perempuan yang satu berkerudung lainnya tidak, menyalami Presiden Jokowi yang berada di jok belakang mobil kepresidenan.
Masalahnya kedua perempuan yang bergantian menyalami itu nampak histeris menunjukkan "cinta"-nya pada sang pemimpin yang diidolakan. Awalnya video beredar seperti demikian adanya. Akan tetapi kemudian beredar lagi video yang dengan "adegan setting" nya. Ternyata histeria dalam video itu hanya sandiwara buatan. Dibuat untuk pencitraan.
Luar biasa "sampai segitunya" membangun pencitraan sebagai figur yang dicintai dan diidolakan. Semula diduga setelah aksi pantai, tontonan petani, bagi amplop, cukur bawah pohon, dan patil udang, selesailah kampanye pencitraan itu. Nyatanya tidak. Rupanya adegan sinetron berlanjut. Entah apa lagi besok dan lusa. Luar biasa "sampai segitunya".
Ada tiga aspek dari modus pencitraan seperti ini dengan status tak jelas Presiden atau Kandidat Presiden.
Pertama, ini bagian dari pelecehan pada rakyat yang menonton pertunjukan buatan sang Presiden. Betapa dianggap bodohnya rakyat Indonesia yang tertipu dengan aksi bualan seperti ini.
Kedua, figur yang tidak punya perasaan malu. Gaya buatan seperti ini jelas sangat memalukan. Pilu hati memiliki Presiden kini dan akan datang, jika terpilih lagi, yang gemar membuat pencitraan vulgar yang sudah diketahui umum.
Ketiga, siapa sutradara dibalik layar ceritra murahan yang mempermalukan Presiden dan melecehkan rakyat dan bangsa Indonesia ? Indonesia bukan negara di Afrika yang sangat terbelakang dan miskin
Kita mengelus dada "sampai segitunya" usaha.
Memilih pemimpin mesti berdasarkan kualifikasi. Mengupayakan maksimal yang terbaik. Sebagai Muslim kepemimpinan profetik mesti didekati "syahidan" transparan dan apa adanya, "mubasyiran" menggembirakan dan tidak membuat kening berkerut, "nadziran" tegas dan adil, "da'iyan ilallah" mengajak ke jalan agama, serta "sirojan muniiro" pembawa lentera penerang bukan pembuat kegelapan atau kehidupan politik yang remang remang.
Presiden selama empat tahun berkuasa tidak menunjukkan kualifikasi kepemimpinan yang baik. Dinilai tak mampu dan tidak representatif memimpin bangsa dan Negara yang besar. Tampil mengandalkan duit dan pencitraan. Ini bukan arena perlombaan mendapatkan piala "Citra". Memimpin bukan ajang permainan, basa basi, atau pamer kepalsuan.
Rakyat harus dipimpin serius menuju kedamaian dan kesejahteraan. Presiden mesti kuat dan berwibawa, karena ia adalah representasi dari harkat dan martabat bangsa dalam pergaulan dunia.
Kini kita prihatin. Punya Presiden yang up to the point "sampai segitunya". Modal uang dan pencitraan.
Teringat puisi Taufik Ismail 'Aku Malu menjadi Orang Indonesia'.
"Di negeriku yang didirikan pejuang relijius
Kini dikuasai pejabat rakus
Kejahatan bukan kelas maling sawit
Melainkan permainan lahan duit"
Pindah dari Indonesia tentu bukan jalan keluar.
Pilihan di depan hanya "dua", yaitu ganti atau ganti.
[syahid/voa-islam.com]