Oleh: M Rizal Fadillah
Lembaga survey semakin banyak. Validitas semakin tak dapat dipegang. Kesan pesanan tentu kental. Dengan berbagai upaya dan angka angka yang dibuat serasional mungkin kemudian hasil dipublikasikan.
Tentu tergantung siapa yang mengontrak. Hebatnya jika ada sepuluh lembaga survey, delapan di antaranya sudah partisan. Pasti aturan perangkaan sudah di atur. Niatnya tak bisa dielakkan selain untuk mempengaruhi pilihan.
Dengan alasan orang boleh percaya atau tidak, lembaga survey menjadi bergerak bebas. Meski margin eror sampai 200 persen. Padahal lembaga survey yang kehilangan nilai obyektivitasnya, jelas menjadi bagian dari penipuan publik. Seperti halnya berita hoax yang sudah lebih dulu dinyatakan sebagai perbuatan kriminal. Daya rusak publikasi lembaga survey "pesanan" pada masyarakat bisa lebih hebat daripada berita hoax.
Oleh karenanya perlu ada pengaturan yang jelas tentang standarisasi lembaga, perijinan dan pengawasannya. Apalagi kini lembaga survey sudah menjadi "badan usaha" yang menguntungkan.
Bukan lagi sebagai lembaga sosial nir laba. Bila tanpa pengaturan dan sanksi maka masyarakat akan selalu dibodohi dan ditipu mentah-mentah oleh hasil lembaga bisnis ini. Hoax yang dibingkai dengan angka dan prosentase tipu tipu tak boleh ditoleransi pengembangannya. Hanya yang kredibel dan jujur saja yang seharusnya dilindungi oleh hukum.
DPR kiranya memperjuangkan agar UU Anti Kejahatan Survey dapat dipertimbangkan untuk dibahas dengan seksama. Daya rusaknya sudah luar biasa bagi masyarakat. Sekaligus ini dapat dijadikan momentum untuk mendorong munculnya lembaga survey yang independen, jujur dan berintegritas. Melakukan pendidikan publik melalui produk survey-survey yang benar dan terpercaya.
Selamat tinggal lembaga ber motto "No pay No survey". Selamat datang lembaga survey yang mendidik. Jangan ada dusta di antara angka angka.