View Full Version
Ahad, 24 Feb 2019

Polemik Avtur dan Harga Tiket Pesawat yang Menggempur

 

Oleh:

Astia Putri, SE

Member Komunitas “Pena Langit”

 

LEWAT tol mahal, pake pesawat juga mahal, lah jadi saya gimana berangkatnya ini??. Mungkin keluhan ini tidak satu atau dua kali kita dengar di sekeliling kita. Memang masalah transportasi menjadi masalah yang cukup sensitif bagi kebanyakan orang. Bagaimana tidak, urusan hiburan, pendidikan hingga pekerjaan menjadikan transportasi yang aman, nyaman dan terjangkau menjadi kebutuhan yang sangat urgen.

Mengapa menjadi masalah yang sensitif? Hal ini karena moda transportasi yang ditawarkan acapkali mendorong ke”sensitif”an dalam menangkap sinyal kemungkinan harga yang bisa dijangkau. Tersebutlah semisal moda transportasi pesawat terbang. Masyarakat mafhum tarif pesawat merupakan tarif yang sifatnya fluktuatif menyesuaikan dengan waktu pembelian tiket, jam keberangkatan dan rute penerbangan. Maka ketika fakta yang terjadi sangat jauh keluar dari tiga macam situasi yang biasanya dapat diindera dan diperhitungkan tersebut, gejolak masyarakat muncul.

Awal tahun 2019 memang sudah dibuka dengan permasalahan melambungnya harga tiket pesawat. Berbagai agen travel pun dibuat kaget dengan harga tiket pesawat yang melonjak menjadi dua kali lipat dari harga normal. Berbagai spekulasi bermunculan. Pernyataan paling menyita perhatian diungkapkan oleh Presiden Jokowi (13/2) bahwa mahalnya harga avtur yang dijual pertamina menjadi pemicu mahalnya harga tiket pesawat (Batam.tribunnews.com, 13/2).

Pernyataan ini dibantah oleh ratusan pekerja yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). Mereka melakukan aksi untuk mendatangi presiden demi meluruskan berita yang mengkambinghitamkan harga avtur Pertamina. Awalnya isu keterkaitan mahalnya harga avtur dengan harga tiket pesawat digaungkan oleh Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Ari Askhara di awal Januari 2019. Namun, akhirnya di awal februari INACA telah mengklarifikasi dengan menyatakan harga avtur sebenarnya tidak secara langsung mengakibatkan mahalnya harga tiket pesawat, justru hal ini akibat biaya leasing pesawat hingga maintenance yang melonjak akibat meningkatkannya nilai tukar dolar Amerika Serikat.

Maka menjadi sebuah anekdot ketika pemimpin negara justru mengungkapkan pernyataan kontradiktif dengan data yang disajikan oleh Presiden FSPPB, Arie Gumilar bahwa tren harga avtur justru menurun dari periode Oktober hingga Desember 2018. Bahkan, avtur mencapai titik terendahnya di Januari 2019. (Finance.detik.com, 15/2). Ada apa gerangan dibalik statement ini? Hal ini dianalisis oleh Arie akibat adanya kepentingan swasta yang berupaya menerobos bisnis avtur di Indonesia yang selama ini memang lahan subur yang dilirik oleh perusahaan asing. Penerapan ekonomi liberal memang telah meniscayakan adanya “hubungan istimewa” hingga mendudukan negara dan penguasa sebagai perpanjangan tangan kepentingan kapitalis.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Pertamina selalu menjadi sasaran atas setiap permasalahan BBM yang terjadi. Hanya saja, patut dipahami bahwa ada peran negara dalam mengatur kebijakan yang ianya bersinergi dengan Pertamina. Kontradiksi statement penyebab kenaikan harga tiket pesawat antara pemerintah dengan pertamina menunjukkan adanya kekacauan paradigma dalam pengelolaan negara berkaitan dengan transportasi penerbangan.

Paradigma kapitalisme-sekularisme yang merongrong persendian negara, telah menyebabkan keretakan dalam penjaminan transportasi udara sebagai kebutuhan publik. Pengelolaan transportasi akhirnya tidak lagi sebagai upaya untuk memberikan seluas-luasnya, semudah-mudahnya dan seterjangkaunya jasa layanan publik, namun telah tersandera oleh kepentingan materi. Mustahil terwujud kemandirian industri penerbangan yang berkualitas dan pro rakyat jika swastanisasi dibiarkan.

Liberalisasi pengelolaan ekonomi termasuk transportasi sejatinya bertentangan dengan syariat Islam. Sudah seharusnya negara bertanggung jawab menyediakan pelayanan terbaik untuk rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari).

Islam juga memerintahkan untuk mandiri secara ekonomi dengan pengaturan sistem kepemilikan. Liberalisasi ekonomi yang menyerahkan pengelolaan sumber daya alam milik umum dan negara kepada asing tidak boleh dilakukan. Negara wajib mengelola sumber daya alam yang ada untuk kepentingan rakyat. Setiap kebijakan yang diterapkan takkan berlandaskan kepentingan-kepentingan, melainkan sesuai dengan hukum syariat ALLAH SWT demi kemaslahatan umat.

Perwujudan ini bukanlah utopis, namun pernah berlangsung selama 13 abad penerapan Islam di dunia. Khalifah Umar bin Khattab ra pernah menyediakan pos dana khusus dari Baitul Mal untuk menyediakan sejumlah besar unta sebagai alat transportasi dalam mempermudah Ibnu Sabil yang tidak memiliki kendaraan antar berbagai Jazirah Syam dan Irak.

Bahkan Khalifah menyediakan semacam rumah singgah bernama Dar ad-Daqiq yang menyediakan berbagai bekal makanan bagi Ibnu Sabil dan kesemuanya diberikan secara gratis. Kesemua ini diberikan tentu dengan kesadaran pentingnya moda transportasi bukan hanya sebagai wasilah perpindahan namun juga wasilah persebaran Islam di seluruh penjuru dunia.

Inilah Islam dengan berbagai solusi. Kalau sudah begini rakyat mana yang mau mengeluh lagi?


latestnews

View Full Version